Rabu, 27 April 2011

Sang Waktu Tak Pernah Kembali


Waktu, masa, tempo, atau apapun namanya, hanyalah bagaimana manusia menyebutnya. Namun ia sendiri tak pernah peduli dengan sebutannya. Ia terus berjalan dan bergulir, menggilas, hingga akhirnya menciptakan sketsa perjalanannya, itulah sejarah.
Betapa berharganya waktu, sehingga Allah telah bersumpah dalam Quran, Demi Masa. Dan karenanya Imam Syafii Rahimahullah pun mengatakan “sekiranya Allah tidak menurunkan surat yang lain, maka cukuplah Ia menurunkan surat Al Ashr”.
Waktu dihitung dari periode perputaran bumi terhadap matahari, kemudian manusia mengaturnya dalam satuan-satuan detik, menit, jam, hari, tahun.., sekehendak hatinya. Maka waktupun terus berjalan, sekehendaknya pula. Pagi, petang, pagi lagi, lalu petang kembali. Hari ini Senin dan esok akan datang Senin lagi. Seolah ia berputar namun sebenarnya ia tak pernah kembali. Sang waktu menyapu yang hidup dan hanya tunduk pada Penciptanya, untuk mempergilirkan yang hidup, dan memberi bukti ketidakabadian.
Belum sempat Firaun mengikuti risalah Musa sebagai bukti keimanannya, dan ia binasa di dasar samudera. Belum sempat Abu Thalib mengikrarkan syahadat, ia telah meninggalkan Rasul dalam hati gundah gulana. Sungguh waktu diciptakan untuk tidak berkompromi pada siapapun. Belum usai Asy Syahid Sayyid Quthb menuliskan Fi Zhilalil Quran, dan kini ia telah menghadap Rabbnya. Betapa waktu juga tidak mau bertoleransi untuk suatu kebajikan sekalipun.
Waktu berlalu menggoreskan rekaman sejarah, keadilan atau kedzaliman. Tak lebih seabad Enver Hoxha menghuni dunia, kemudian menjadi tiran yang memporakporandakan Islam di Albania. Namun ia menorehkan kisah kebencian di dada muslim Albania hingga akhir dunia. Ketika kepongahan itu hanya berusia sesaat, sang pongah menuai caci-maki untuk waktu yang lama, lebih lama dari usia kepongahannya. Aksioma waktu: datang dan pergi.
Hari ini Shahih Bukhari ada hampir di setiap madrasah dan tempat ibadah, tak sulit memperolehnya. Tak nampak proses letihnya kelana Imam Bukhari mengarungi negeri-negeri menghimpun hadits, membuang ribuan yang palsu, lalu ber-istikharah mencari keteguhan hati. Itulah aksioma waktu: berlalu dan tak kan kembali.
Usia kita adalah hidup kita bersama waktu. Kita lahir, kemudian menjadi besar dan tua karena waktu, untuk kemudian waktu jualah yang membatasi kehidupan ini. Yang lemah, perkasa, cantik, atau yang kaya, akan tiba kepada akhir perjalanannya bersama waktu, kematian.
Semua yang terjadi, hanya akan menjadi masa lalu, seperti pesan puisi:

Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti.
Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,
Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.*


Tatkala segala sesuatu akhirnya hanya menjadi akan masa lalu, bukankah berarti akan ada ‘masa depan’ ? Jika masa lalu adalah ketidak-abadian, bukankah masa depan adalah keabadian itu?
Kelak akan tiba masa dimana semua akan tetap muda. Mengarungi hidup tanpa siang atau malam, tanpa matahari apalagi arloji. Hidup yang tak mengenal libur Minggu karena tiada kalender.
Dan disana manusia akan tetap hidup, tanpa menjadi renta, tanpa sanggup mengukur usia. Itulah akhirat, itulah keabadian, saat dimana manusia tidak akan tahu – dan tak akan pernah merasa perlu tahu – tentang waktu.
* kutipan puisi “Jikalah Pada Akhirnya”

Tidak ada komentar: