Rabu, 28 Januari 2009


Islam: Gerakan Keagamaan dan Politik


Sebagai gerakan keagamaan, Islam sudah disepakati oleh semua kalangan. Artinya, Islam merupakan ajaran ritual, spiritual dan moral. Islam mengandung ajaran ritual seperti shalat, zikir, puasa, dll. Islam juga mengajarkan spiritualitas dan moral seperti sabar, tawaduk, istiqamah, berpegang pada kebenaran, amanah, dll.
Siapapun yang menelaah sirah Nabi saw., baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat, selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Di antara hal-hal yang menunjukkan hal tersebut adalah: Pertama, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul, Muhammad ber-tahanuts di Gua Hira. Namun, setelah dipilih sebagai utusan Allah, Beliau langsung diperintahkan untuk memberikan peringatan di tengah-tengah masyarakat mulai dari keluarga terdekat dan kawan-kawannya. Nabi saw. pun menyebarkan dakwah di tengah-tengah mereka. Beliau bergerak di masyarakat.
Kedua, Rasulullah saw. melakukan pemantapan akidah. Sejak awal, Nabi saw. Memproklamirkan: Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh. Dengan syahadat tersebut berarti tidak ada yang wajib disembah, diibadahi dan dipatuhi selain Allah. Menaati Allah haruslah dengan mengikuti utusan-Nya, Muhammad saw. Jadi, syahadat merupakan pengingkaran terhadap thâghût serta keimanan kepada Allah dan Rasul. Ini merupakan deklarasi politik. Karenanya, dapat dipahami mengapa Abu Jahal dan Abu Lahab, misalnya, tidak mau mengucapkannya. Bukan tidak bisa, melainkan mereka tahu apa isi kandungan dan konsekuensinya: kekuasaan mereka untuk menetapkan hukum hilang; hak mereka menetapkan baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela yang selama ini mereka miliki pun tidak ada lagi. Semuanya harus ditetapkan oleh wahyu.
Ketiga, dakwah Nabi saw. menyerukan pengurusan masyarakat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Ayat-ayat Makiyyah banyak mengajari akidah seperti takdir, hidayah dan dhalâlah (kesesatan), rezeki, tawakal kepada Allah, dll. Ratusan ayat berbicara tentang Hari Kiamat (kebangkitan manusia dari kubur, pengumpulan manusia di padang mahsyar, pahala dan dosa, surga dan neraka, dll); tentang pengaturan terkait akhirat seperti nasihat dan bimbingan, membangkitkan rasa takut terhadap azab Allah, serta memberikan semangat untuk terus beramal demi menggapai ridla-Nya.
Selain itu, ratusan ayat al-Quran dan hadits di Makkah dan Madinah diturunkan kepada Nabi tentang pengaturan masyarakat di dunia. Misal: jual-beli, sewa-menyewa, wasiat, waris, nikah dan talak, taat pada ulil amri, mengoreksi penguasa sebagai seutama-utama jihad, makanan dan minuman, pencurian, hibah dan hadiah kepada penguasa, pembunuhan, pidana, hijrah, jihad, dll. Semua ini menegaskan bahwa apa yang didakwahkan Nabi saw. bukan hanya persoalan ritual, spiritual dan moral. Dakwah Nabi saw. berisi juga tentang hal-hal pengurusan masyarakat. Artinya, dilihat dari isinya dakwah Rasulullah saw. juga bersifat politik.
Keempat, Rasulullah melakukan pergulatan pemikiran. Pemikiran dan pemahaman batil masyarakat Arab kala itu dikritisi. Terjadilah pergulatan pemikiran. Akhirnya, pemikiran dan pemahaman Islam dapat menggantikan pemikiran dan pemahaman lama. Konsekuensinya, hukum-hukum yang diterapkan di masyarakat pun berubah.
Rasulullah saw. dengan al-Quran menyerang kekufuran, syirik, kepercayaan terhadap berhala, ketidakpercayaan akan Hari Kebangkitan, anggapan Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan, dll. Hikmah, nasihat, dan debat secara baik terus dilakukan oleh Nabi saw. Al-Quran mengabadikan hal ini:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi yang kuat) dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]:125).
Jelas, ini merupakan aktivitas politik karena merupakan aktivitas ri‘âyah syu’ûn al-ummah, mengurusi urusan rakyat.
Kelima, para pembesar Quraisy banyak menzalimi rakyat, kasar, menghambur fitnah, dan banyak bersumpah tanpa ditepati. Rasulullah saw. dengan tegas menyerang mereka karena kesombongan dan penentangan mereka. Di antara pembesar yang diserang langsung oleh Beliau adalah Abu Lahab dan istrinya (Ummu Jamil). Sementara itu, Walid bin Mughirah diserang dengan menyebutkan ciri, perilaku, dan tindakannya terhadap masyarakat. Misalnya, Nabi saw. menyerang Walid dengan ayat:
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ، هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ، مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ، عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ، أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ، إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ، سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ
Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku (kasar), selain dari itu yang tidak diketahui siapa bapaknya karena dia mempunyai banyak harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami (Allah), ia berkata, “Ini adalah dongengan orang-orang terdahulu.” Kelak akan Kami beri tanda di belalainya (hidungnya). (QS al-Qalam [68]: 10-16).
Selain itu, Nabi saw. menyampaikan wahyu dari Allah yang berisi pembongkaran terhadap tipudaya para penguasa Quraisy itu (QS ath-Thariq [86]: 15-17; al-Anfal [8]: 30). Semua ini merupakan perjuangan politik. Arahnya adalah menghentikan kezaliman pembesar terhadap rakyatnya, seraya menyerukan Islam sebagai keadilan yang menggantikannya.
Keenam, Nabi saw. menentang hubungan-hubungan rusak di masyarakat dan menyerukan Islam sebagai gantinya. Pada saat itu, kecurangan dalam takaran dan timbangan sudah merupakan hal lumrah dalam jual-beli. Rasulullah menentang keras sistem masyarakat seperti ini (QS al-Muthaffifin [83]: 1-6).
Sistem masyarakat yang diterapkan penguasa/pembesar kala itu membiarkan pembunuhan terhadap anak-anak karena takut miskin, khawatir tidak terjamin makan dan kehidupannya. Rasul saw. justru berteriak lantang bahwa tindakan tersebut adalah dosa besar. Beliau menyerukan: tidak perlu takut dan khawatir miskin karena Allahlah yang mengatur rezeki. Perzinaan pun merajalela. Di tengah masyarakat yang mengagungkan pergaulan bebas itu, Nabi saw. mencela perzinaan. Beliau juga menentang keras pembunuhan yang ketika itu merupakan kebiasaan masyarakat yang dilegalkan oleh hukum penguasa. Perilaku para pembesar yang biasa mengambil harta anak yatim ditentang habis-habisan. Kebiasaan rakyat dan penguasa yang sering tidak memenuhi janji pun dilawannya; diluruskan. Lalu diserukan perubahan semua itu dengan syariah Islam (QS al-Isra’ [17]: 31-34).
Jelas, Rasul saw. bergerak di tengah masyarakat, membela kepentingan mereka, menentang aturan dan sistem yang rusak, serta mendakwahkan ajaran Islam sebagai gantinya. Semua ini merupakan aktivitas politik.
Ketujuh, setelah berhijrah dari Makkah ke Madinah, Beliau mendirikan institusi politik berupa negara Madinah. Beliau langsung mengurusi urusan masyarakat. Misal: dalam bidang pendidikan Beliau menetapkan tebusan tawanan Perang Badar dengan mengajari baca-tulis kepada sepuluh orang kaum Muslim pertawanan. Dalam masalah pekerjaan Nabi saw. mengeluarkan kebijakan dengan memberi modal dan menyediakan lapangan pekerjaan berupa pencarian kayu bakar untuk dijual (HR Muslim dan Ahmad). Nabi saw. pernah menetapkan kebijakan tentang lebar jalan selebar tujuh hasta (HR al-Bukhari). Beliau juga mengeluarkan kebijakan tentang pembagian saluran air bagi pertanian (HR al-Bukhari dan Muslim). Begitulah, Nabi saw. sebagai kepala pemerintahan telah memberikan arahan dalam mengurusi masalah rakyat.
Secara langsung, Rasulullah saw. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis (kâtib) setiap perjanjian dan kesepakatan, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel kepala negara (berupa cincin) Nabi saw., Muaiqib bin Abi Fatimah sebagai pendata rampasan perang (ghanîmah), Hudzaifah bin Yaman sebagai kepala pusat statistik hasil buah-buahan di Yaman, dll.
Berdasarkan perilaku dakwah Nabi saw. dan para Sahabatnya di atas, jelaslah, dakwah Beliau tidak sekadar mencakup ritual, spiritual dan moral. Dakwah Beliau juga bersifat politik, yakni mengurusi urusan umat dengan syariah. Karenanya, dakwah Islam haruslah diarahkan seperti yang dilakukan Beliau. Politik tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari Islam. Tentu, sekali lagi, politik yang dimaksud bukanlah politik Machiavellis atau sekular.

Rabu, 14 Januari 2009

Dakwah dan Politik

[Catatan: Ini cuma cerita khayalan. Nama orang dalam cerita cuma rekaan. Kalau ada yang mirip dengan nama di dunia nyata, ya anggap saja rejeki.]
Nur sudah lama gelisah. Hatinya bimbang. Kamar tidurnya belakangan kian terasa sempit dan pengab. Padahal udara sih nyaman-nyaman saja. Ini sudah bulan Nopember 2003, dan hujan sudah sejak dua bulan lalu turun. Memang, udara malam kadang terasa agak lebih hangat dibandingkan bulan-bulan lalu. Tapi sebenarnya hujan telah membuat udara terasa bersih. Harusnya nur bisa tidur lebih nyaman. Tapi nyatanya tidak.
Nur gelisah bukan karena apa-apa. Ia bingung mau ikut ajakan siapa. Tahun depan, beberapa bulan lagi, akan ada pemilu. Sebagai orang yang sudah memenuhi syarat, Nur akan ikut nyoblos. Ia yakin bahwa nyoblos dalam pemilu ini penting sebab ia ingin turut menentukan siapa pemimpinnya. Namanya juga santri, urusan nyoblos dalam pemilu ia nanya kiai. Kalau urusan nyoblos yang lain-lain bisa saja tidak pakai nanya-nanya kiai. Tapi untuk nyoblos yang ini, mending nanya-nanya dulu. Nah ini dia. Gara-gara itu, mahasiswa tingkat dua di sebuah fakultas kedokteran ini jadi bingung. Dua kiai yang ia tanya memberi jawaban beda-beda. Kiai Umar di pesantren Al-Huda bilang, Nur sebaiknya pilih Mx, karena partai ini adalah wadah bersama ummat Islam Indonesia yang paling tepat untuk jadi wasilah politik. Tapi Kiai Ali di pesantren An-Nur lain lagi. Beliau nyuruh Ihsan nyoblos partai PX saja. Partai yang baru misah dari Masyumx dua tahun lalu ini, kata Kiai Ali, adalah satu-satunya wadah bagi para ahlussunnah wal-jamaah seperti kita.
Nur jadi puyeng. Dua Kiai ini, dua-duanya ia jadikan panutan, kok tumben ngasih nasehat beda-beda. Biasanya nasehat mereka selalu sama. Ya kalaupun ada beda, biasanya cuma beda-beda tipis. Lha ini, urusan nyoblos pemilu kok bedanya jadi rada tebel? Satu nyuruh nyoblos Masyumx, satunya nyuruh milih PX. Bukan cuma pada Nur mereka berkata begitu. Dalam tausiyah umum pada masyarakat pun mereka kadang selilpkan pesan seperti itu. Jadi mau ikut yang mana ini?
Ya, ya, ya… Nur tahu, Kiai Umar akan nyalon jadi anggota lembaga nasional di Jakarta sana dari Masyumx, sedang Kiai Ali bakal nyalon dari PX. Entah mereka akan nyalon untuk Konstituante atau untuk DPR, Nur tak tahu persis. Yang sudah terbayang adalah kebingungan: nyoblos partainya Kiai Umar apa partainya Kiai Ali. Ia harus pilih salah satu. Pilih dua-duanya tidak sah (kecuali kalau beliau-beliau itu nyalon untuk dua lembaga yang beda). Tapi kalau tidak pilih keduanya, gak bisa juga. Ia ingin nyoblos, sebab ini bakalan jadi pengalaman pertama ada pemilu di negeri yang baru beberapa tahun lalu merdeka ini. Apa ia mau pilih PNX? Ah, partai sekuler. Kaum santri masak mau nyoblos partainya orang abangan. Kalla! Atau sekalian saja nyoblos PXI, partainya orang-orang komunis itu? Ah, amit-amit. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Dalam gundah, akhirnya Nur memutuskan untuk melakukan salat istikharah. Ia ingin memohon petunjuk Sang Kuasa agar dapat menentukan pilihan secara lebih mudah. Malam itu ia berwudlu lalu siap-siap untuk salat.
Tapi ketika hendak mulai salat istikharah, Nur tercenung. Lah, masak salat istikharah menanyakan hal yang terlalu sederhana, cuma urusan nyoblos. Kenapa tidak sekalian bertanya sesuatu yang lebih besar, yang lebih substansial?
Betul juga. Tapi apa yang lebih substansial itu?
Lama Nur duduk diam berpikir di atas sajadah-nya. Aroma parfum Hadjar Aswad oleh-oleh Kiai Ali dari tanah suci yang ia usapkan di sajadah tercium samar-samar. Tasbih cendana pemberian Kiai Umar dalam genggamannya meruapkan wewangian lain. Keduanya menemaninya berpikir beberapa lama. Ditimbangnya banyak hal, hingga akhirnya ia bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Ah, ternyata mau bertanya saja sulit, apalagi mau menjawab.
Tapi kini Ihsan mantap, dalam salat istikharah ia akan mencari jawaban untuk pertanyaan ini: bisakah politik dan dakwah dituang bersama dalam satu gelas? Ia tahu bahwa Islam adalah kaffah. Ia paham bahwa dakwah dan politik tak bisa dipilih salah satu atau dibuang salah satu. Masalahnya, bisakah keduanya diminum bersamaan dari satu gelas yang sama? Yak, itulah pertanyaannya.
Maka berdirilah ia. “Allahu Akbar…,” ucapnya, dan dimulailah usahanya untuk mencoba melakukan dialog personal dengan Sang Maha Pembimbing.
Usai salat, separuh beban rasanya telah sirna. Maka tidurlah Ihsan malam itu dengan nyenyak, hingga suara tarhim* pagi itu membangunkannya. Bergegas ia wudlu dan pergi ke masjid sebelah untuk salat subuh berjamaah. Hari pun berjalan dalam rutinitas biasa.
Ketika malam tiba, Nur mulai gelisah lagi. Mengapa belum ada tanda-tanda jawaban akan pertanyaannya dalam salat istikharah semalam? Mengapa belum ada ilham sama sekali dalam seharian ini untuk dijadikannya sebagai rujukan jawaban? Tilawah Qur’an hari ini juga tak secara khusus bisa ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.
“Mungkin harus salat lagi,” batin Nur.
Malam itupun ia mengulangi istikharahnya, masih dengan pertanyaan yang sama. Dan malam itupun ia tidur lagi dengan harapan yang sama. Tapi hari esoknya berjalan tetap dalam kekosongan jawaban yang sama. Hari ketiga juga begitu. Esoknya lagi tetap sama. Lusanya juga… dan tak terasa sudah sepuluh malam Ihsan ber-istikharah tanpa menemukan sedikitpun petunjuk yang menenangkan hati.
Malam kesebelas Nur salat istikharah lagi dengan keyakinan bahwa jika kali ini tetap belum ada hasil, barangkali memang pertanyaan ini terlalu remeh untuk ditanyakan dalam salat. Atau barangkali jawabannya telah sangat jelas. Entahlah. Dalam gamang yang sempurna, Nur ber-takbiratul ihram.
Rampung salat ia tidur dalam kegundahan seperti sebelum salat istikharah di malam pertama. Semua terasa begitu tak jelas. Ia siap-siap kalau tidurnya akan gelisah. Apalagi hujan malam itu deras sekali. Mudah-mudahan tak ada petir yang bisa merusak tidur.
Tapi justru inilah saat. Malam inilah saat datangnya sebuah ilham dalam mimpi yang sama sekali tak diharapkannya. Mimpi itu, rasanya agak janggal. Dalam mimpi itu ia merasa sedang berdiri di atas mimbar sebuah masjid yang sangat indah. Dari atas mimbar itu ia memberikan tausiyah pada jamaah yang tekun mendengarkannya.
“Amma ba’du…,” Nur mulai berbicara usai membuka khutbah. “Jamaah rahimakumullah. Politik dan dakwah adalah nafas dan darah bagi ummat Islam.”
Dalam mimpi Nur berdeham sedikit, membersihkan tenggorokan. “Tanpa dakwah, kita ini ibarat raga tanpa darah. Tanpa politik, kita ini ibarat makhluk hidup tapi tak bisa bernafas.”
Hadirin manggut-manggut tanda setuju.
Ihsan melanjutkan: “Tanpa dakwah dan tanpa politik, kita sebagai ummat akan ‘laa yamuutu fiiha wa laa yahya‘. Maka kita harus menyeimbangkan kedua-duanya.”
Hadirin makin manggut-manggut. Dan Ihsan dalam mimpi pun kian bersemangat.
“Tapi — ya, tetapi hadirin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, darah dan nafas itu tak pernah tercampur mentah-mentah dalam raga kita. Memang kedua-duanya nanti akan berujung pada niatan besar yang sama, tapi prosesnya terpisah. Kedua-duanya dianugerahi Allah organ yang berbeda kendati letaknya berdekatan. Kita bernafas dengan paru-paru, dan darah kita diatur oleh jantung.” Ah, iya. Dalam tidurpun si mahasiswa fakultas kedokteran ini masih bisa berceramah tentang anatomi.
“Maka oleh karena itulah,” nur menandaskan dengan yakin, “dakwah dan politik pun tak boleh kita campur sembarangan, sama seperti darah dan nafas yang tak bercampur serampangan dalam perjalanan awalnya.”
Setengah sadar Nur berusaha membantah ceramahnya dalam mimpi. Tapi diri yang dalam mimpi tak mau di-interupsi. “Dakwah dan politik memang kita harus punya. Kedua-duanya kita harus punya. Harus! Tapi kedua-duanya itu harus kita atur sebaik-baiknya agar tak tercampur secara salah.”
Diri dalam mimpi itu lalu melempar tanya pada hadirin: “Bagaimanakah pencampuran yang salah itu?”
Dijawabnya sendiri, “untuk mengetahui pencampuran yang salah, kita harus mengetahui pencampuran yang benar.” Ah lumayan, belajar kitab As-Sullam dulu membuatnya bisa bermain-main logika sedikit.
“Pencampuran yang benar,” lanjut Nur, “adalah ketika politik dilandasi oleh tujuan-tujuan dakwah. Oleh karena itu, pencampuran yang salah adalah adalah ketika dakwah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik.”
“Ya sodara-sodara,” Nur menaikkan suara, “politik harus dipengaruhi oleh niat dakwah, tapi dakwah tak boleh dipengaruhi oleh niat politik.”
“Mengapa?” nur melempar tanya lagi, “mengapa begitu?”
Pertanyaan retoris ini dijawabnya sendiri. “Sebab politik itu urusan kuasa, dan dakwah itu urusan amar ma’ruf nahi munkar. Politik itu, sodara-sodara, bersifat eksklusif. Dakwah itu, sodara-sodara, bersifat inklusif. Yang inklusif boleh mempengaruhi yang eksklusif dan bukan sebaliknya.”
“Dalam politik, saya bisa mengajak sodara-sodara untuk memilih si A. Orang lain mengajak sodara-sodara memilih si B. Sodara-sodara hanya bisa mengikuti ajakan saya, atau mengikuti ajakan orang lain itu. Tak bisa sodara-sodara ikuti keduanya. Itulah contoh eksklusifitas politik.”
“Tapi dalam dakwah, sodara-sodara, kita bisa ikuti seruan kebaikan sesiapapun. Saya mengajak sodara-sodara salat dan zakat. Orang lain mengajak sodara-sodara puasa dan memperbanyak sodaqah. Kedua-duanya bisa diikuti tanpa saling meniadakan. Itulah inklusifitas dakwah.”
“Jadi hadirin,” Ihsan melemparkan kalimat simpulannya, “kita boleh berpolitik dengan niat dakwah, tapi tak boleh berdakwah dengan niat politik.”
Dilihatnya hadirin mengangguk-angguk mantap. Hatinya senang.
“Wallaahul-muwafiq ilaa aqwaamith-thariq,” Nur menutup ceramahnya, “wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”
… ‘Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaik. Yaa imaamal-mujaahidiin…’ Suara bacaan tarhim* di masjid sebelah membangunkan Nur dari mimpi ceramahnya. Ia membuka mata. Masih dalam baring, ia tercenung. Mimpi aneh, pikirnya. Mengapa ia yang memberikan nasehat, dan bukan orang lain yang memberinya nasehat untuk menjawab kegundahan hatinya?
Ia bangun, menyeret kaki ke kamar mandi, lalu berwudlu. Saat wudlu ia berpikir: Ilham bisa datang dengan cara apa saja. Siapa tahu mimpi ceramahnya tadi adalah sebuah ilham yang sebenarnya telah lama bersemayam dalam diri, dan menemukan jalan keluar dalam mimpi. Mimpi tadi adalah jawaban bagi gundahnya.