Selasa, 23 Juni 2009

Kepekaan Vs Keshalihan
Dua kata ini terlintas di kepalaku setelah dalam perjalanan tadi aku mampir di sebuah mushalla kecil. Selesai berwudhu, akupun melangkah ingin memasuki musholla. Tapi tertunda. Mushalla (lebih tepatnya ruang kecil untuk shalat)yang hanya bisa dipakai shalat untuk 4 orang itu masih belum bisa kumasuki. Aku hanya berdiri di depan pintu yang berada di sisi kanan mereka yang sedang sholat Maghrib. Alhamdulillah, kulihat 3 orang selesai shalat, 1 lainnya masih melanjutkan rakaat terakhir, Sebentar lagi aku bisa shalat. Paling hanya beberapa menit mereka berdzikir dan berdoa, pikirku.

Sudah lebih 6 menit, mereka yang berdzikir dan berdoa belum juga beranjak dari duduknya. Sementara itu aku dan (kalau tak salah hitung) 5 orang di sekitarku juga kepingin shalat. Maka kuberanikan diri untuk menyapa salah satu dari mereka yang sedang khusyu’ berdzikir dan berdoa. Tapi aku hanya ditatap sebentar, lalu ia kembali asyik bermunajat kepada Tuhannya.

Satu dari empat orang di ruang kecil itu keluar. Ia adalah orang yang shalatnya paling akhir selesai. Baru selangkah kakiku maju, seseorang lainnya menyela dan menempati area kosong untuk satu orang itu. Akh, aku kurang cepat! Mungkin orang yang menyela tadi sudah tak sabar ingin menemui Tuhannya. Atau mungkin dia takut berdosa jika kehabisan waktu maghribnya. hm…

Menurutku, kesalehan tak ada manfaatnya jika tak dibarengi dengan kepekaan. Mengapa mereka yang saleh dalam melaksanakan ibadah ritual tak memiliki kepekaan terhadap lingkungan? Mengapa mereka hanya memikirkan kepentingan spiritualnya sendiri tanpa memberikan kesempatan untuk hamba Tuhan lainnya? Sebegitu parahkah kecerdasan emosional para pelaku perjalanan spiritual? Apakah pengalaman spiritual merupakan satu aspek yang kontradiktif dengan kepekaan sosial/emosional?

Waktu shalat jum’at, ada seorang bapak membawa serta putrinya yang masih belum sekolah. Sejak khatib mulai berkhotbah hingga jelang shalat, anak tersebut tak henti-hentinya menangis, berteriak minta pulang. Aku berprasangka, mungkin banyak orang yang merasa terganggu, beberapa orang menengok ke arah Bapak yang tetap duduk tak bergeming sementara anaknya menangis histeris. Rupanya bapak itu lebih mementingkan ibadahnya ketimbang memulangkan anaknya kepada istrinya yang aku tahu jaraknya tak lebih dari 20 M dari masjid ini. Mungkin Bapak itu lebih mementingkan pahala untuk dirinya dari Allah sehingga tak peduli dengan keresahan kaum muslimin semasjid. Apakah pengalaman spiritual merupakan satu aspek yang kontradiktif dengan kepekaan sosial/emosional?

Temanku curhat. Ia punya teman kerja (seorang perempuan). Setiap hari selalu telat masuk kantor. Ke kantorpun membawa serta anak-anaknya. Di kantorpun lebih banyak bermain dengan anak-anaknya ketimbang melayani customer yang berjejer di ruang tunggu. Setengah jam sebelum jam pulang, biasanya sudah dijemput oleh suami tercinta. Temanku beberapakali mengingatkannya, namun tak pernah bisa berubah. Yang membuat temanku kesal, teman kantornya itu adalah satu-satunya karyawan yang rajin shalat. Itu ia ketahui dari formulir pribadi berjudul "lembar mutaba’ah" yang pernah diperlihatkannya. Temannya selalu shalat 5 waktu, setiap pekan menghafal beberapa ayat al-qur’an dan hadits, menghadiri pengajian rutin pekanan, membaca al-ma’tsurat, shaum sunnah, qiyamullail, dll. Tetapi mengapa kegiatan rutin yang ia lakukan itu tak membuat spiritualitasnya cerdas dan peka terhadap lingkungan dan pekerjaan?

Kegiatan spiritual, tak akan memiliki manfaat sosial jika hati pelakunya tak benar-benar tunduk dan sujud kepada Allah. Banyak orang yang rajin sujud, bahkan hingga jidatnya kapalan (menghitam), namun dalam kehidupan sehari-hari tak pernah sujud. Justru ia ingin semua orang sujud kepadanya (baca: menuruti kemauannya, menghormati kesalehannya). Sujud yang ia lakukan kala shalat tak membuatnya sujud ketika lepas shalat. Bacaan sujud yang ia ucapkan, Subhana rabbiyal A’la wa bihamdihi, justru malah membuatnya merasa lebih suci, merasa posisinya lebih tinggi, dan gila pujian.

hm… sudah saatnya nyukur jenggot nih… emoticon

Selasa, 16 Juni 2009


Kebaikan Dibalik Keburukan

Allah berfirman:
�Janganlah kalian kira bahwa itu buruk bagi kalian, bahkan itu baik bagi kalian.� (QS. an-Nur: 11)

Saudaraku kaum muslimin....
Ayat yang mulia ini mengajarkan kepada kita kaidah agung yang luar biasa. Kaidah mulia yang membuka cakrawala wawasan seorang pejuang, sehinga perjuangan semakin terasa lapang. Banyak sekali ayat-ayat semisal yang patut menjadi renungan, di antaranya:
- Ayat pertama dan kedua.
Allah berfirman:
�Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.� (QS. Al-Ba-qarah: 216)
�Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.� (QS. An-Nisa': 19)
Ibnul Qayyim berkata:
�Ayat pertama menyangkut masalah jihad yang merupakan puncak kekuatan kemarahan, sedang ayat kedua tentang nikah yang merupakan puncak kekuatan syahwat.
Seorang hamba benci apabila ia menghadapi musuh secara langsung dengan kekuatan kemarahan, khawatir pada dirinya. Apa yang dikha-watirkan ini sebenarnya baik bagi kehidupannya maupun dalam permusuhannya. Ia pun lebih menyukai meninggalkannya dan berpaling darinya, sedang apa yang dia sukai ini sebenarnya buruk bagi kehidupannya dan permusuhannya. Demikian pula dalam masalah apa yang dibenci dari sifat-sifat wanita, maka bersabar atasnya terkandung banyak kebaikan yang tidak diketahuinya.
Manusia, sebagaimana Allah telah memberikan sifatnya adalah dholuman jahula (dholim lagi jahil). Maka hendaknya menjadikan pilihannya atas apa yang menyebabkan kemudharatan dan kemanfaatan, kebencian dan kecintaan, keridhoan dan kemarahan adalah apa yang telah Allah pilihkan baginya.
Secara mutlak, sesuatu yang paling bermanfaat adalah ketaatan kepada Rabb secara dhohir maupun batin. Sedangkan sesuatu yang paling berbahaya adalah bermaksiat kepada-Nya secara dhohir maupun batin. Apabila ketaatan dan peribadahan ditegakkan berlandaskan keikhlasan, maka semua apa yang terjadi, walauun perkara yang dibenci, akan menjadi baik baginya. Apabila kosong dari ketaatan dan peribadahan, maka setiap apa yang terjadi dari perkara yang dicintai adalah buruk baginya.
Barangsiapa yang benar pengetahuannya tentang Rabbnya, faham akan nama dan sifat-sifat-Nya, mengilmui dengan penuh keyakinan bahwa hal-hal yang dibenci yang menimpanya, ujian yang dihadapinya, di dalamnya pasti terkandung kebaikan dan kemanfaatan yang tak terhitung oleh ilmunya dan fikirannya. Bahkan kebaikan terhadap akibat dari sesuatu yang dibenci seorang hamba, lebih besar dari kebaikan pada sesuatu yang dicintainya.� (al-Fawaid, 91-93)
Ketika menjelaskan [QS. an-Nisa' (4): 19], Pemilik kitab al-Manar berkata:
�Ayat tersebut menyebutkan kaidah umum dalam semua permasalahan, tidak terbatas pada masalah wanita saja. Yaitu sebagian apa yang dibenci manusia terdapat banyak kebaikan baginya. Ketika kebaikan telah nampak, akan membersihkan sesuatu yang dibencinya itu. Kaidah ini sangat diterima akal, dan dibenarkan oleh kenyataan. Oleh sebab itu Allah berfirman:
�Karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu...�
Tidak berfirman: Karena mungkin kalian membenci wanita.
Sesungguhnya dalam kesabaran atas apa yang dibenci, terkandung faidah-faidah lain yang tidak mungkin didapat pada hal-hal yang disukai.� (Tafsir al-Manar)

- Ayat ketiga.
�Jika kalian (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syu-hada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.� (QS. Ali Imran: 140-141)
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Sesungguhnya kesempitan setelah kelapangan, kelapangan setelah kesempitan, keduanya ini akan menying-kap tabir jiwa, tabiat-tabiat hati, baik berupa tingkat kekeruhan dan kejernihannya, tingkat keluh kesah dan kesabarannya, tingkat kepercayaan dan keputusasaannya kepada Allah, maupun tingkat penerimaan, kejemuan dan ketidakterkendaliannya terhadap takdir Allah.
Saat itulah tampak mana barisan orang-orang beriman dan mana barisan orang-orang munafik. Tampaklah hakikat jiwa-jiwa mereka. Terungkaplah apa yang lahir dan apa yang tersembunyi di dalam jiwanya. Bersihlah barisan Islam dari kerancuan di antara para anggotanya yang bercampur baur dan tidak jelas.
Allah mengetahui siapa orang-orang beriman dan siapa orang-orang munafik. Allah mengetahui apa yang terlipat dalam hati. Berbagai kejadian dan pergiliran masa kejayaan dan kehancuran di antara manusia menyingkapkan apa yang tersembunyi, menjadikannya sebagai realitas dalam kehidupan manusia, memunculkan iman kepada amalan nyata, dan memunculkan nifak ke dalam tindakan nyata pula. Sebab itu berhubungan dengan penghitungan dan pembalasan. Sedang Allah tidak menghisab manusia menurut apa yang di-ketahuinya, tetapi menurut apa yang terjadi pada mereka.�
Syaikh Rasyid Ridho berkata:
�Manusia tertutupi dari mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya, tidak akan terungkap hakikat dirinya kecuali setelah latihan yang sering dan ujian-ujian berat. Latihan dan ujian inilah seperti emas yang sedang disepuh, kemudian menjadi murni setelahnya. Demikian pula pada jiwa manusia, akan terbedakan mana yang benar imannya dan mana yang munafik, nampak pula jiwa-jiwa lemah dari kaum beriman sesuai dengan kadarnya masing-masing. Maka akan hancur leburlah orang-orang yang menyelisihi perkara Nabi dan tamak dengan ghanimah. Sedangkan orang-orang yang konsisten dan kokoh, merekalah yang mendapat pelajaran. Khususnya, dengan semua ujian berat itu, akan diketahui bahwa seorang muslim tidak diciptakan untuk kelalaian dan main-main, bukan pula agar bermalas-malasan dan berpangku tangan, tidak hanya menggigit jari, hanya menanti keajaiban, dan me-rubah sunah-sunah Allah yang ada pada makhluknya. Tetapi ia diciptakan agar menjadi manusia yang paling banyak ilmunya, dan agar lebih bisa menjaga tugas-tugasnya dan sunnah-sunnah-Nya.� (Tafsir al-Manar)
- Ayat keempat.
�Allah sekali-kali tidak akan mem-biarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan seperti kalian seka-rang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).� (QS. Ali Imran: 179)
Ibnu Katsir berkata:
�Harus diyakini bahwa ujian adalah sebab akan nampaknya wali-wali-Nya, nampak nyata siapa musuh-Nya, dan dapat diketahui mana mukmin yang sabar dan munafik yang merugi.� (Tafsir al-Qur�an al-Azhim)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridho berkata:
�Ujian-ujian yang dahsyat akan membedakan antara yang kuat imannya dan yang lemah imannya. Itulah yang akan mengangkat keinginan yang lemah menuju tingkatan yang lebih kuat, dan hilanglah kesamaran antara orang-orang yang benar dengan orang-orang yang munafik. Terkandung di dalamnya faidah yang banyak sekali. Di antaranya:
1. Orang-orang yang jujur dalam iman, kadang-kadang masih ada kemungkinan disertai orang munafik, yaitu ketika adanya prasangka baik dan terpedaya oleh orang-orang amal-amal munafik berupa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sifatnya dhohir, serta keikutsertaan mereka bersama orang-orang yang benar imannya dalam beberapa amalan. Maka jika orang-orang beriman mengetahui hakikatnya, mereka akan waspada.
2. Akan diketahui hakikat kekuatan sebenarnya dari sebuah jamaah. Karena hal tersebut dapat menyingkap keadaan orang-orang munafik yang berada dalam jamaah tersebut, akan diketahui bahwa mereka di atas kemunafikan bukan di atas jamaah.� (Tafsir al-Manar)
- Ayat kelima.
�Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang.� [QS. al-An'am (6): 12]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa rahmat Allah meliputi semua apa yang Allah putuskan dan takdirkan.
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah sifat utama-Nya dalam memperlakukan mereka. Bahkan, pada saat memberikan cobaan dengan kesulitan. Dia memberikan cobaan kepada mereka dengan tujuan untuk menyiapkan mereka dalam menanggung amanah-Nya. Sebab, cobaan itu berguna untuk menyucikan, membersihkan, memberikan pengetahuan dan kesadaran, serta memberikan kesiapan kepada mereka.
Selain itu, cobaan-Nya juga untuk membedakan barisan orang yang buruk dengan orang yang baik. Sehingga, diketahui siapa yang mengikuti Rasulullah dan siapa yang menyim-pang dari jalan beliau. Dengan begitu, orang yang kemudian binasa adalah binasa dalam kejelasan dan orang yang hidup adalah hidup dalam kejelasan. Rahmat Allah dalam semua itu amat sangat jelas.
Perasaan seperti itu terhadap hakikat ini akan mendatangkan ketenangan dalam hati orang yang beriman terhadap Robbnya. Bahkan, saat dia sedang menghadapi cobaan dan kesulitan yang demikian berat sekalipun. Karena ia meyakini bahwa rahmat Allah akan selalu menyertainya dalam setiap detik, setiap situasi, dan setiap tempat. Ia meyakini pula bahwa Robb-nya memberikan cobaan kepadanya bukan karena Dia menjauhi dan meng-usirnya dari rahmat-Nya. Allah tidak pernah mengusir seorangpun dari rahmat-Nya, saat orang itu mengharapkan rahmat-Nya. Namun, manusia sendiri yang mengusir diri mereka dari rahmat ketika mereka kafir terhadap Allah, menolak dan menjauhkan diri dari rahmat-Nya!
Perasaan tenang terhadap rahmat Allah akan menumbuhkan keteguhan dan kesabaran dalam hati. Juga harapan dan optimisme, serta ketenangan dan kelapangan jiwa. Karena dia sedang berada dalam penjagaan yang penuh kasih sayang, yang di rasakan kedamaian!�
- Ayat keenam.
�Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.� [QS. Fathir (35): 2]
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Nikmat apapun yang jika tidak disertai rahmat Allah, niscaya akan berubah menjadi bencana. Cobaan apapun yang disertai rahmat Allah, niscaya akan berubah menjadi nikmat. Ketika seseorang tidur di atas duri, dengan disertai rahmat Allah, maka duri itu berubah menjadi kasur empuk. Sementara seseorang yang tidur di atas sutra tanpa disertai rahmat Allah, niscaya sutra itu berubah menjadi duri.
Perkara-perkara yang paling sulit jika disertai rahmat Allah, akan dengan mudah ditangani. Sementara perkara yang amat mudah, jika tidak disertai rahmat Allah, akan berubah menjadi amat berat dan sulit. Dengan rahmat Allah itu, maka seseorang dapat mengarungi ketakutan dan bahaya dengan aman dan perasaan te-nang. Sementara tanpa rahmat Allah, seseorang yang menyusuri jalan bebas hambatan sekalipun dapat binasa.
Tidak ada kesempitan jika disertai rahmat Allah. Kesempitan itu terjadi jika tidak ada rahmat Allah. Tidak ada kesempitan sama sekali, meskipun seseorang sedang berada di sempitnya penjara, atau di tengah siksa, atau di ujung kematian. Sementara tidak ada kelapangan jika tidak disertai rahmat Allah, meskipun seseorang sedang berada di tengah kenikmatan, dan di tempat yang indah luar biasa. Dari dalam diri seseorang, dengan rahmat Allah, akan terpancar mata air kebahagiaan, keridhoan dan kedamaian. Dan jiwa yang tidak mendapat rah-mat Allah, akan dipenuhi oleh kegelisahan, kelelahan, kepenatan dan penderitaan!
Harta dan keturunan, kesehatan dan kekuatan, kedudukan dan kekuasaan dapat menjadi sumber kegelisahan, keletihan dan kelalahan, jika tidak disertai rahmat Allah. Sementara jika Allah membuka pintu-pintu rahmat-Nya, maka di situ terdapat ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
Rahmat Allah bukanlah sesuatu yang mustahil bagi seseorang yang mencarinya, di manapun dan dalam kondisi apapun. Rahmat Allah itu didapatkan oleh Ibrahim dalam api yang menyala. Didapatkan oleh Nabi Yusuf dalam sumur yang dalam, juga ia dapatkan dalam penjara. Didapatkan oleh Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan hiu atau paus, dalam kegelapan yang sangat. Didapatkan oleh Nabi Musa di lautan air, sementara ia masih seorang anak kecil yang sama sekali tak memiliki kekuatan dan tak ada penjagaan, sebagaimana ia dapatkan di istana Fir'aun, padahal Fir'aun itu adalah musuhnya yang mengincar dan mencarinya.
Rahmat itu didapatkan oleh Ashabul Kahfi ketika mereka tak mendapatkannya di istana dan rumah penduduk. Kemudian seseorang dari mereka berkata kepada yang lain:
�Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu.� (QS. al-Kah-fi: 16)
Dan didapatkan oleh Rasulullah beserta sahabat beliau di dalam gua, padahal ketika itu kaum Quraisy sedang mencari-carinya serta mengikuti jejaknya. Juga didapatkan oleh semua orang yang berlindung kepada rahmat Allah serta tidak mengharapkan dari yang selain-Nya. dengan menyingkirkan semua keraguan atas kekuatan Allah dan rahmat-Nya, sambil menuju kepada Allah semata, tidak kepada yang lain-Nya.�
  • Saudaraku kaum muslimin....
Rahmat Allah akan senantiasa mengiringi para pejuang di segala keadaan, di segala kondisi, di semua ruang. Ada pada dirinya, ada pada perasaannya, ada di sekelilingnya, di manapun dia berada. Saatnya mencurahkan segenap daya dan upaya demi membuka pintu-pintu rahmat Allah itu melalui perjuangan di puncak keihklasan. Rahmat yang mengandung kebaikan dahsyat, hatta dalam sesuatu yang kita sangka keburukan pun, di sana ada banyak kebaikan.

Kamis, 04 Juni 2009




PERANG MELAWAN AMARAH

''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali-Imron: 133-134).
Amarah merupakan tabiat manusia yang sulit untuk dikendalikan. Dan, Allah menjadikan orang yang mampu untuk menahan amarahnya sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa. Di samping itu Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menahan amarahnya lalu memaafkan mereka yang menyakitinya.
Allah berfirman, ''Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.'' (Asy-Syuura: 40).

Abu hurairah meriwayatkan bahwa pada suatu hari, seorang lelaki mendatangi Rasulullah SAW. Ia berkata kepada beliau. Ya Rasulullah! Nasihatilah saya! Sabdanya, ''Janganlah engkau marah.'' Lalu beliau ulangkan beberapa kali, dan sabdanya, ''Jangan engkau marah.'' (HR Bukhori).
Penekanan Rasulullah SAW di atas menunjukkan betapa pentingnya menahan amarah. Karena ia adalah penyebab terjadinya pertikaian, perpecahan, dan permusuhan. Dan bila ini terjadi, maka akan membawa dampak negatif kepada umat Islam. Oleh sebab itu pula, Islam tidak membenarkan seorang Muslim untuk saling bertikai dan saling berpaling satu sama lain melebihi dari tiga malam.
Sahabat Abu Bakar ra pernah mendapatkan teguran dari Allah SWT karena kemarahan yang dilakukannya dengan bersumpah untuk tidak memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah.
Allah berfirman, ''Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat-(nya).

Saudara entah kenapa beberapa hari ini saya merasa malas dan selalu ingin marah, dikantor dibuat marah oleh pekerjaan demikian pula dikampus. Puncaknya adalah kemarin dikampus ketika harus presentasi makalah yang berkaitan dengan perbandingan madzhab, kondisi yang lemas, tidak vit, ngantuk dsb, ditambah dengan teman-teman yang ramai dan membuat kesal.
Rasanya kepala ini panas sekali dan muka merah padam, namun Alhamdulillah saya cepat berfikir marah pun tidak ada untungnya dan saya harus segerah pulang untuk menengkan diri dan tidur.
Saudara yang perlu kita ingat kenapa dalam hadist itu penekanan "jangan marah diulang-ulang oleh Rosulullah, sekali lagi bahwa manusia itu pada suatu saat akan ada pada titik jenuh dan... kejenuhan itulah yang memancing amarah!

Betapa indahnya dunia ini, jika setiap orang berusaha menahan amarahnya. Pertikaian, kerusuhan, permusuhan di mana-mana tidak akan terjadi. Karena kejahatan yang dibalas dengan kejahatan tidaklah memberikan solusi, namun menambah persoalan dan memperpanjang perselisihan.
Wallahu a'lam bissowaf...

Senin, 01 Juni 2009


Kekuatan Kemauan

Manusia hidup dan digerakkan oleh kemauan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia dikonsumsi dan dipergunakan untuk merealisasikan kemauan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatis ini; yaitu kenginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?

Manusia dalam posisinya dengan kemauan terbagi menjadi beberapa golongan:

Pertama, manusia yang hanya mengikuti kemauan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mau. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mau. Merdeka juga berpikir apa saja yang dia bayangkan. Independensi memang penting untuk membentuk kepribadian. Tanpa independensi seorang manusia hanyalah angka satuan yang tidak terlalu penting di tengah milyaran manusia. Tetapi independensi ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)

23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد

“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (karunia) Allah.” (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kedua, manusia yang tidak punya kemauan independen. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Lingkungan, teman, orang tua, bahkan seterunya selalu menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bereaksi. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti sangat dikecam Rasulullah, beliau berkata:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي

“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zhalim, kami juga berbuat zhalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zhalim, jangan kalian berbuat zhalim.” (HR at-Turmudzi)

Ketiga, manusia yang selalu berperang antara kemauan dirinya dan kemauan orang lain, dan juga kemauan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan ambisi atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diombang-ambingkan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioritas akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الزمر: 29

29.” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar: 29)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني

“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.

Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam kemauan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”

Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.

Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.

Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.

Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

148. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”(QS al-An’am: 148)

Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lewat, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)

Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sadar bahwa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Singkat kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم

“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Karena kata ‘kalau’ membuka perbuatan setan[1].” (HR Muslim)

Kesalahpahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universalitas Islam, bahwa perintah Allah juga mencakup segala kebaikan di berbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan banyak muslim yang menginfakkan jutaan rupiah untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sulit didapatkan untuk membangun proyek-proyek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sadar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadats, tetapi banyak tidak khawatir seluruh amalnya batal karena korupsi, kolusi dan menipu.

Kesalahpahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dan beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan mubadzir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak bisa mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني

“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)

Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi karena ketidakpahaman terhadap Islam. Sebagian besar bersumber dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahwa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadits. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadits. Ada juga yang serius dengan hadits Nabi SAW tapi justru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.

Apakah itu semua karena memahami agama Islam sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ

“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya

Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”

Tantangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.

Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumit tantangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.

Semua tantangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu poros al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada engkau kami menyembah, dan kepada engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, niscaya akan terjebak dan terjatuh dalam tantangan-tantangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.