Jumat, 18 Mei 2012

Membaca = Menggabungkan 2 Perasaan Cinta

Jika kita pernah merasakan jatuh cinta, menggabungkan perasaan Anda dengan perasaan orang lain, maka ketika itu, gabungan cinta akan berkembang dan berkembang sehingga meluap ke mana-mana. Ini akan menjadikan hidup kita lebih dari satu hidup. Hal inii serupa dengan ketika kita membaca.  Seorang cendekiawan Mesir, sastrawan, kritikus sekaligus ulama dan wartawan yang bernama Abbas Mahmud Al-Aqqad menuliskan bahwa jika kita ingin hidup kita lebih dari satu hidup dapat dilakukan dengan membaca. Karena tanpa membaca, hidup ini hanya satu. Ide kita hanya satu, demikian juga dengan perasaan dan imajinasi kita. Tetapi bila hal itu bertemu dengan ide,  perasaan dan imajinasi yang lain, maka yang lahir bukan hanya dua rasa, dua ide dan dua imajinasi, tetapi banyak sekali, hingga tak terhitung jumlahnya. Inilah serupa dengan seorang yang duduk di antara dua cermin. Ia tidak melihat hanya satu gambar dirinya, tidak hanya dua tetapi banyak sekali, sebanyak pandangannya ke seluruh cermin itu.
            Dengan bermacam aktivitas dan tuntutan profesi kita, sering kali kita membuat apologii atas ketidaksempatan untuk membaca.  Ketahuilah bahwa sesungguhnya kita tidak harus menggunakan waktu yang banyak untuk membaca. Kalau kita membiasakan diri membaca, maka kita dapat membaca sekitar 300 kata—bukan huruf – dalam semenit. Dalam satu bulan kita dapat menyelesaikan 126.000 kata, maka jika rata-rata buku saku itu memuat 6000 kata maka itu berarti setiap bulannya kita telah membaca dua buku hanya dalam waktu 15 menit sehari, coba bandingkan dengan waktu kita untuk mengobrol dengan teman atau membuka facebook!
Sebagai seorang ibu rumah tangga dan seorang pendidik, tuntutan untuk membaca sangat besar bagi saya pribadi. Seringkali pertanyaan-pertanyaan kritis muncul dari anak-anak menjadi banyak yang tidak bisa langsung terjawab.  Meski  kemauan untuk membaca kadang harus ‘dipaksakan’, seperti pepatah Arab yang mengatakan : tidak dapat memberi sesuatu, orang yang tidak mempunyai sesuatu. Maka di lingkungan sekolah tempat saya mengabdi ada program guru membuat resume buku dengan ketebalan minimal 100 halaman. Hal ini menjadikan guru ‘dipaksa’ untuk mau mengagendakan kegiatan membaca pada aktivitas kesehariannya. Inii adalah sebuah program khusus, tidak hanya seruan atau anjuran saja, hal ini bertujuan sebagai salah satu cara meng-up grade kapabilitas seorang pendidik, mengimbangi semangat membaca anak-anak yang tinggi dan menjadikan membaca menjadi habit seorang pendidik.
Habit membaca ini tentunya tidak hanya di monopoli para pendidik saja. Tetapi setiap kita ‘diharuskan’ menjadikan membaca menjadi habit tersendiri, sebagai salah satu langkah kita meneladani Rasul tercinta, Muhammad saw, karena pertama kali yang diwahyukan kepada beliau adalah Iqra’. bacalah!.
 Dan jangan menduga bahwa dengan membaca 24 jam sehari kita dapat mengikutii perkembangan ilmu pengetahuan, karena kita akan masih sangat jauh tertinggal.
            Maka membaca! membaca!
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (QS Al ‘Alaq:1), bekerjalah demii Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu!
           

Oleh : Nur Yum Saidah, S.Si (pendidik di SDIT Al ‘Ibrah Gresik).

Senin, 07 Mei 2012

INDAHNYA “ MALAM PERTAMA “

Malam pertama .....
(sengaja diberi tanda petik, berarti bukan arti yang sesungguhnya, artinya bukan malam pertama bagi sang raja & permaisuri sebagai pengantin baru),

Justru .... malam pertama perkawinan kita dengan Sang Mauuuut.....

Sebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudara......


Hari itu, mempelai sangat dimanjakan, mandinyapun harus dimandikan, seluruh badan kita terbuka .....
tak sehelaipun benang melekat pada tubuh kita yang menutupinya

Tak ada rasa sedikitpun malu ......
seluruh badan digosok dibersihkan ....
kotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkan, bahkan lubang itunyapun ditutupi dengan kapas putih, itulah sosok kita …..

Itulah jasad kita waktu nanti ....


Setelah dimandikan .....
kita pun akan dipakaikan gaun yang cantik, yang semua orang jarang memakainya, tetapi merknya cukup terkenal, bahkan dikenal di seluruh dunia, yaitu Kafan, wewangian ditaburkan ke baju kita, bagian kepala, badan dan kaki diikatkan,
tataplah ... tataplah .... itulah wajah kita


Keranda pelaminan, langsung dipersiapkan, pengantin bersanding sendirian tanpa teman ...
mempelai diarak keliling kampung bertandukan tetangga menuju istana keabadian sebagai symbol asal usul kita diiringi langkah gontak oleh seluruh keluarga serta rasa haru para handai taulan.


Gamelan syahdu bersyairkan adzan, akad nikahnya bacaan tahlil ......
berwalikan liang lahat ....
disaksikan nisan-nisan ....
yang telah tiba terlebih dahulu, siraman air mawar merupakan pengantar akhir kerinduan.....


Dan akhirnya tibalah saatnya masa pengantin ......
menunggu dan ditinggal sendirian ......
untuk mempertanggungjawabkan seluruh langkah kehidupan.


Malam pertama bersama kekasih .....
ditemani rayap-rayap dan cacing tanah dikamar bertilamkan tanah, dan ketika 7 langkah sanak saudara telah pergi meninggalkan kita, kita pun ditanyai oleh sang Malaikat ....


Kitapun tak tahu apakah akan memperoleh nikmat kubur …
ataukah kita akan memperoleh siksa kubur.....
kita tak tahu dan tak ada seorangpun yang tahu.


Tapi anehnya kita tak pernah galau ketakutan …..
padahal nikmatkah atau siksakah yang akan kita terima ?
Kita sungkan sekali meneteskan air mata, seolah tangis atas dosa dan khilaf adalah barang berharga yang sangat mahal sekali.


Dan Dia kekasih itu......
Menetapkanmu ke Syurga .....
atau melemparkanmu ke Neraka …..
tentunya kita berharap menjadi penghuni Syurga, akan tetapi sudah pantaskah sikap kita ini untuk disebut calon penghuni Syurga ?


Sahabat ...
mohon naaf ...
jika malam itu aku tak menemanimu .....
bukan aku tak setia, bukan aku berkhianat .....
tapi itulah komitmen azali tentang hidup dan kehidupan.


Aku berdo’a .......

Semoga Aku, kau dan kita semua selalu bisa Khusnul Khotimah sehingga menjadi ahli syurga.


Amin ........ ya robbal ‘alamin.

Jumat, 04 Mei 2012

Gizi Dari Nurani Kita

Rekam jejak kehidupan mengisyaratkan kepada kita bahwa banyak kegelisahan bergumul di  sekitar benak. Kegelisahan hari ini sangat dimungkinkan oleh dampak aksi kita di masa lampau. Terkadang juga itu merupakan tumpukan cemas, asa, harap, cita. Kemudian meledak ia menjadi sebuah kegelisahan. Terkadang ada yang membahasakan, antitesanya kegelisahan adalah ketenangan. Namun kalau mau ditelisik lebih jauh, ternyata ketenangan sendiri merupakan wujud kegelisahan. Adalagi tenang bagi sebagian, merupakan gelisah bagi yang lain. Bagi mereka yang abstrak, gelisah dan tenang merupakan sesuatu yang tak berwujud dan tak berbeda. Tenang merupakan bagian dari gelisah, namun demikian gelisah bukan bagian dari tenang.
Mari kita berandai - andai. Seandainya sudah tidak ada lagi gelisah di benak kita, dapatkah kita menjustifikasi bahwa nuansa hati sudah tenang ketika itu? Atau ketika kita merasa gelisah, adakah ketenangan sudah bepergian jauh meninggalkan kita? Bisa jadi jawabnya ia, namun bisa juga tidak.Tafsiran sebenarnya ternyata ada jauh di lubuk hati. Nurani namanya. Ia kemudian berwujud menjadi persepsi. Lebih jelas ia akan bekerja di sekitar kondisi yang terjadi. Nurani inilah yang akan menilai apakah penting saat ini untuk gelisah, atau lebih baik tenang. Ia akan memilah berbagai tampilan problematika yang menghampirinya untuk kemudian diklasifikasikan menjadi tumpukan gelisah atau ketenangan.Gizinya nurani adalah pemahaman. Sumber pemahaman adalah pembelajaran dan ketekunan. Akar dari semua itu adalah ilham akan kecendrungan kepada kebenaran. Inilah yang kemudian menjadi fondasi nurani untuk menentukan sebuah jasad menjadi gelisah atau tenang. 
Akan tetapi, tetap masih ada sebuah kekuatan yang bersekongkol dan atau malah memonopoli proses pengklasifikasian itu. Kekuatan itulah yang sering disebut - sebut sebagai hidayah. Sesuatu yang tak bisa direalitakan secara verbal, hanya hati yang bisa merasakan kedatangannya. Ketika ia datang, ketenangan dapat jelas terasa mejadi sebuah anugerah, dan kegelisahan menjadi sebuah spirit. Dengan kedatangannya jua, tenang melegitimasi wujudnya menjadi kesyukuran, gelisah bermetamorfosa menjadi kesabaran.Lantas, sebuah pertanyaan tersirat. Darimanakah datangnya hidayah itu? Tak ada jawaban yang pasti. 
Namun sebuah sketsa mengisyaratkan bahwa seberapa dekat kita dengan spiritualitas, sangat memungkinkan ia menghampiri. Memang erat hubungannya antara spiritualitas dan hidayah. Namun ada sebuah hal mutlak yang mesti kita yakini. Ia bernama takdir. Bisa jadi takdir yang membisikkan hidayah untuk menghampiri.Manusia tidak bisa lari dari gelisah. Ia juga tak bisa dengan mudah meraih tenang. Demikian sebaliknya. Bukan materi, apalagi imajinasi duniawi tabib dari dua tabiat ini, melainkan seberapa kuat spiritualitas itu menjadi karakter diri. Sampai disini, aku sadar. Tak ada hal yang membenarkanku untuk lari dari masalah. Pun tak ada alasan bagiku untuk mencari ketenangan. Aku cukup bertanya pada nurani, dan ia akan menjawabnya.

Masalah, Tidak Akan Menjadi Masalah, Jika Tidak Dipermasalahkan

Anda masih ingat dengan Amrozi cs?
Tersirat senyum di bibirnya ketika palu itu diketuk jua. Beberapa detik kemudian bahkan ia bangkit dan dengan pasti kepalan tangan itu mengangkasa diiringi gema takbir dari lantang suaranya. “Allahuakbar...” Seisi ruang sidang dibuat takjub oleh mereka. Sorot mata yang tajam itu jua bahkan kemudian menyaksikan sendiri kematian tubuhnya. Sebuah peluru akhirnya mengantarkan ia dan dua rekannya menghadap kharibaan-Nya. Ada sebuah hikmah manfaat yang bisa dipetik dari kisah perjalanannya. Ini tentang prinsif. Ini juga cerita tentang integritas. Keberanian menyatakan keyakinan. Dan yang paling penting adalah sebuah sikap ketika menghadapi permasalahan. Sebuah ungkapan bijak disampaikan seorang kawan dalam sela kesempatan tausiyahnya, “Kawan, masalah itu tidak akan menjadi masalah, jika tidak kita permasalahkan.” Persis. Bahkan di sela – sela penantian menunggu eksekusi penentuan keputusan manusia itu, ia dan kedua rekannya tetap menebar senyum yang menyiratkan sebuah ketegaran. “Ini bukan sebuah masalah, bung.” Seakan kalimat tersebut terluncur dari sikapnya yang semakin membuat penasaran. 
Kisah lain (Sayyid Quthb) jua kita dapati di Mesir beberapa puluh tahun silam. Lelaki itu, dengan senyum yang manis itu menunggu detik - detik algojo menggantungnya. Itulah senyum kedua seumur hidupnya yang juga menjadi senyum terakhir menutup usia. Ketegaran akan kerinduan perjumpaan meyakinkannya. Sosok kecil itu kemudian menjadi sebuah spirit. Kenapa harus bersedih atas berbagai permasalahan? Mereka hanyalah sebuah mozaik. Sebuah serpihan dari sebagian kisah cerita dunia. Dunia yang terdiri dari serpihan problematika. Disitulah sebenarnya sebuah pendewasaan. Jika manusia bisa mengambil pelajaran darinya. Perspektif bedanya hanya terletak di sudut pandang saja. Memandang sebagai apakah seorang individu terhadap sebuah masalah, ancaman atau anugerah.
 
“Bersungguh – sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh – sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh – sungguhlah dengan kelemahanmu niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.” 

Banyak dari kita memandang sebuah masalah yang menimpa adalah sebagai sebuah musibah. Terlebih ketika beban tersebut terasa betapa berat dan kerasnya. Seolah tak sanggup lagi kita menanggungnya. Padahal sudah kita tahu, DiaYang Maha Esa tidak sekali – kali membebani sesuatu yang tidak sanggup kita pikul. Lantas, apa yang kita permasalahkan...? Cara kita memandang masalah itu sendiri, sebenarnya itulah masalahnya. Seberapa kuat doktrin kebaikan mampu mengalahkan bujuk buruk sangka dalam mindset pemikiran kita. Terkadang, memang terasa sangat berat ujian ini, lunglai sudah tubuh ringkih ini. Rasanya tak sanggup jua berdiri menopang beban berat ini. Namun, sekali lagi disinilah titik ujian kita. Benar, manusia diuji dari titik lemahnya masing – masing. Apapun itu, saudaraku. Inilah ujian iman itu. Seorang Imam Hasan Al Basri pernah mengatakan,

“Ketika badan sehat dan hati senang, semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan barulah diketahui benar tidaknya pengakuan itu. Orang yang ingin permintaannya cepat terkabul hari ini dan tidak sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman.” 

Inilah hidup punya cerita, saudaraku. Terlalu banyak  cerita problematika dunia bila ingin kita jabar. Namun bukan itu esensi hidup kita. Bukankah kita dicipta untuk menggapai ridho-Nya? Bukankah masalah ini jualah yang akan mengakselerasi kita membuktikan kecintaan yang sebenarnya pada-Nya? Bukankah dengan ini jiwa kita akan lebih berpengalaman dalam menghadapi detak demi detak masalah yang melintang aral? Bukankah ini adalah sebuah nikmat, kalau begitu? Lantas, apa yang kita permasalahkan? Inilah kekuatan iman itu, kawan. Tanpanya ibadah – ibadah kita selama ini seolah hampa. Kering, tanpa jiwa. Tanpa ruh di dalamnya. Yakin. Yakinlah Dia selalu bersama kita. 

“Sesungguhnya Allah bersama orang – orang yang sabar...” 

Jangan permalukan jiwa dengan menyerah pada titik perjalanan hidup ini. Ini hanya sebuah stasiun pemberhentian sementara. Isilah kemudian amunisi lagi, kita lanjutkan perjalanan yang masih panjang ini. Yakinlah akan pertolongannya. Memang, sepertinya tak semua yang kita minta terkabulkan, tapi taukah kita, sungguh sebenarnya apa yang kita butuhkan telah terpenuhi jua. “La Tahzan, Innallaha ma’ana” Demikian seorang sahabat mencoba menenangkan saudara yang dicintainya ketika sedang gelisah akan petolongan-Nya. Tidak. itu bukan sebuah keraguan. Namun sebuah pengharapan, akan pertolongan Sang Penciptanya. 
“Tampilkan dengan sesungguhnya sifat – sifat kekuranganmu, niscaya Allah menolongmu dengan sifat – sifat kesempurnaan-Nya. Bersungguh – sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh – sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh – sungguhlah dengan kelemahanmu niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.” (Ibnu Athaillah) Itulah kunci dari permasalahan kita. Pertolongan itu adalah sebuah keniscayaan. “Adalah hak bagi Kami menolong orang – orang beriman.” (Q.S. Ar Ruum:47) Tidak ada kegelisahan, selama masih tersemat iman itu dalam lubuk jiwa. Masalah, tidak akan menjadi masalah, jika tidak dipermasalahkan...”