Rabu, 10 April 2013

Ketika Badai Sedang Menerpa Bahtera Rumah Tangga 2

Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang perjalanannya.
Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.
Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga. Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya. Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan tetapi, memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.
Sikap membandingkan bisa pula datang dari pihak istri, di mana ia membandingkan hidupnya dengan kehidupan wanita lain. Membandingkan suaminya dengan suami orang lain.
“Fulanah bisa begini, bisa begitu…. Diberi ini dan itu oleh suaminya…. Sementara aku…?”
Terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di depan suaminya hingga suaminya jengkel.
Orang Arab mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe wanita; annanah, hannanah, dan mannanah.”
Annanah adalah wanita yang banyak menggerutu dan berkeluh kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa sebab.
Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut kepada suaminya, ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan suaminya dengan lelaki lain.
Mannanah adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit apa yang dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan mengatakan, “Aku telah lakukan ini dan itu karena kamu….”
Betapa banyak perbuatan membanding-bandingkan tersebut merobohkan bangunan rumah tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuknya. Hendaklah ia percaya bahwa siapa yang membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain, niscaya ia akan menganggap kurang apa yang ada padanya. Karena, kesempurnaan itu sesuatu yang sulit diperoleh. Orang yang suka membanding-bandingkan keadaannya dengan orang yang di atasnya, ia tidak bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak orang yang keadaannya berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji Allah Subhanahu wa ta’alaatas karunia-Nya.
Pokok masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, bisa melancong dari satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang indah, perabot-perabot yang mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya adalah kelapangan jiwa menerima pembagian Allah Subhanahu wa ta’ala serta sebuah rumah yang tegak di atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua itu sudah terkumpul, apa lagi yang diinginkan? Mengapa harus menyibukkan diri mengamati keadaan orang lain hingga mengundang kesedihan dan kegundahgulanaan jiwa?
Maka yang harus diperhatikan adalah:
Muamalah di Antara Keduanya
Suami istri janganlah jual mahal untuk memaafkan pasangannya ketika salah satunya meminta maaf dan
meminta keridhaan. Seorang istri tidak boleh bersikap angkuh dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya di depan suaminya. Seorang suami pun tidak boleh kaku dan keras hati. Apabila istri sudah mengakui kesalahannya, hendaklah berlapang dada, selama masalahnya tidak mencacati agama dan akhlak. Demikian pula ketika suami bersalah, dia tidak boleh merasa gengsi untuk meminta maaf.
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada suami adalah sesuatu yang tidak boleh dilalaikannya.
Penting untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras. Salah satunya harus ada yang lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa itu adalah istri! Kehidupan suami istri tidak bisa berjalan baik melainkan dengan seorang suami yang kuat dan seorang istri yang tahu bahwa ia wanita yang lemah. Itulah sebabnya lelaki dijadikan sebagai qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan wanita lemah. Pihak yang lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung dan bertumpu di kala sulit. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
 “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)
Jangan sampai seorang istri senang apabila suaminya lemah, tidak bisa menegakkan urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi istrinya. Inilah fitrah. Lantas, mengapa ada saja orang yang lari dan merasa sombong untuk mengakuinya? Padahal keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat tidak berarti ia bersifat zalim. Kuatnya kepribadian tidaklah sama dengan kezaliman dan kekakuan.
Istri salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya.
Renungkanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad 4/381, dinyatakan sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)
Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki Musnad al-Imam Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Kairo)
Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!
Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya. Ia menjaga rahasianya. Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya. Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.

Wallahu a'lam bisshowaf

Ketika Badai Sedang Menerpa Bahtera Rumah Tangga 1


Bissmillahirrahmanirrahiim

Saudaraku, kita telah diperingatkan
“Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfaal: 73)

Bukan bermaksud curhat tapi sedikit dari tulisan ini saya mau mulai dari cerita tentang keluarga kecil yang saya bangun. Hampir tiga tahun menikah saya dikaruniai Allah dua orang putra yang pertama berusia 20 bulan dan yang kedua 8 bulan, hari hari kami jalani dengan suka cita itu mungkin karena kami menikah  dengan proses islami tanpa pacaran seperti kebanyakan anak muda sekarang, dengan proses ta'aruf yang cukup kilat dan kamipun langsung melaksanakan pernikahan.
Setelah menjadi mahrom kami tafahum (saling memahami), dan ternyata diantara kami jurang perbedaan yang cukup dalam, istri dilahirkan dan dibentuk dari keluarga dan lingkungan yang lembut sedangkan
saya dilahirkan dan dibentuk dari keluarga dan lingkungan yang keras...
Saya yang terbiasa sigap dan cepat dalam mengambil keputusan sedangkan istri yang sangat hati - hati, saya yang biasa tegas dalam menghadapi masalah sedangkan istri yang takut dan khawatir dengan adanya masalah. Namun semua bisa kami selesaikan dalam perjalanan biduk rumah tangga kami dua tahun terakhir.
Dan ketika memasuki tahun ketiga cobaan yang cukup berat pun diberikan Allah kepada kami, yang masing-masing kamipin tahu akan hal itu. karna sering kali saya mentaujihkan bagaikan perjalanan sebuah bahtera,
atau kapal laut ........ maka dari itu, rumah tangga sering disebut sebagai bahtera rumah tangga ........... "dalam pelayaran, sebuah bahtera perlu perbekalan, dan kesiapan mental nakoda dan co-nakoda ...
mula-mula kapal itu melayari perairan pantai, kadangkala perairan yang tenang, hanya ada riak kecil dan keindahan pantulan mentari pagi ........
makin lama, makin siang bahtera makin ke tengah .... dan makin siang itu makin ada angin, kemudian ombak mulai terasa menggoyang ...
ke manakah tujuan bahtera itu ?
tujuannya adalah pulau cinta yang jauh .... dan bila kau sudah pernah berada di atas kapal laut, ya ... seperti itulah kehidupan rumah tangga, tentu bakal dihadang oleh gelombang dan badai ... bila nakoda dan co-nakoda "piawai" mengendalikannya, maka bahtera akan selamat dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan ombak, gelombang dan hujan badai ......... ancaman yang lain adalah gunung es, atau gunung karang yang "tersembunyi" di bawah permukaan air laut .......... sangat bahaya, bila kapal menabraknya,
tak sedikit kapal yang pecah berantakan, tak sedikit rumah tangga yang bercerai berai, tak sedikit pula suami-istri yang datang ke pengadilan saling klaim dan ngotot minta perceraian ............
itulah gambaran kehidupan rumah tangga".
Akan tetapi ombak yang menghantam bahtera kami cukup besar dan beruntun, mulai saya keluar dari pekerjaan dan meminjam uang untuk bisnis, namun ternyata bisnis saya bangkrut karna ditipu dan sebagian tidak membayar padahal hutang saya harus tetap saya lunasi, ditambah anak pertama sakit yang mengharuskan operasi kecil.....
Sebagai seorang wanita dan seorang ibu istri saya lebih sering bersedih akhir-akhir ini, dan sebagai seorang laki-laki sekaligus suami sudah kewajiban saya untuk mendampingi dan menguatkan.
Karna memang Wanita adalah sesosok manusia yang dianugerahi dengan perasaan yang halus. Selembut-lembutnya hati seorang laki-laki masih lembut hati seorang wanita yang paling tegar sekalipun. Betapa hatinya bagaikan gelas-gelas kaca, sekali pecah hancur sampai berkeping-keping. Perasaan seperti itu sangat rentan terhadap kekecewaan dan kesedihan. 
Sehingga yang harus kita pahami bersama bahwa kita tidak boleh berlebihan dan seakan-akan menunjukkan kekecewaan atas Qadha’ dan Qadhar Allah Subhanu Wata’alla ini yang tidak boleh, Allah menguji manusia dengan batas kemampuan masing-masing manusia:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)

Juga yang perlu kita pahami...

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا [٩٤:٥]
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا [٩٤:٦]
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 
 Bersambung...