Sabtu, 15 Mei 2010

PUISI KEHIDUPAN


by Chairil Anwar

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru…

Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku…
Karena ibadahku masih pas-pasan…

Kuraba dahiku…
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah….
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah…..

Memaknai Milad (Ulang Tahun)


Jika kita mendengar kata ini, pastilah yang langsung terbsit dalam pikiran kita masing-masing adalah hari yang menyenangkan, sejenak melupakan masalah-masalah kita karena pada hari itu kita menjadi orang yang paling berbahagia.

Sudah merupakan suatu tradisi bila di hari ini kita mengadakan pesta dengan nama syukuran. Padahal di dalamnya kita justru berbuat banyak kemaksiatan. Mungkin juga enggak ngadain pesta tapi… traktir temen-temen kita makan super banyak.

Kasus lain membuktikan bahwa banyak dari para remaja yang merasa menjadi orang yang paling menderita lantaran tidak seorangpun yang ingat hari ulang tahunnya.

Sebenarnya makna apa saja yang terkandung dalam ulang tahun itu sendiri??
Bertambahnya pengalaman hidup pastinya udah pada tau khan kalau namanya ulang tahun itu umur kita bertambah dan udah pasti dong seiring bertambahnya umur kita harus siap menghadapi lika-liku kehidupan. Untuk itu kita harus mempersiapkan jiwa yang kokoh dalam menerima cobaan dan ujian untuk menguji keimanan kita. Jadi enggak hanya umur kita aja yang bertambah tapi juga iman kita. Amiin.

Setahap menuju kematian pada saat itu berartijatah umur kita berkurang, karena jatah umur kita sudah diatur oleh Allah untuk hidup di dunia ini. Dengan kata lain seiring bertambahnyawaktu, semakin dekat dengan kematian, dengan kubur, dengan hari perhitungan (yaumul hisab), semakin dekat dengan akhirat (tujuan hidup kita dimana kita akan hidup abadi di dalamnya). Sudah siapkah kita menghadapi semua itu?? Terus gimana nih kita nyikapin yang namanya hari ulang tahun?? Sebaiknya jiga gak perlu berhura-hura ada baiknya kita:

* merenungi apa yang terjadi beberapa tahun silam.Padasaat ibu kita tengah berjuang antara hidup dengan mati dan ayah menunggu denagn was-was dan ketika pertama kali kita melihat dunia. Dengan mengingat ini,alangkah baiknya kan jika kita mengungkapakan rasa terimakasih kita untuk orang tua (terutama ibu) yang telah memberikan kasih saying dan perlindungan hingga kita mapu berfikir mandiri pad saat ini.
* Mengingat apa yang kita lakukan di tahun sebelumnya. Dengan begitu kita menjadi tahu apa saja yang sudah kita lakukan pada tahun di mana kita lebih muda. Kita berinstropeksi sehingga kita tidak menjadi orang yang bodoh dengan mengulang kesalahan yang sama.
* Bersyukur
* Menargetkan apa yang akan kita lakukan tahun ini. Mudah-mudahan target utama kita sama yakni menjadi hamba Allah yang baik.

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyanyang itu adalah prang-orang yang berjalan di atas bumi dengan penuh kerendahan hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang berkata: Wahai Rabb kami, jauhkanlah adzab jahanam dari kami sesungguhnya adzabnya itu adalah kebibnasaan yang kekal”(Q.S. Al Furqan : 63-68)

Senin, 10 Mei 2010

Khitbah dan Akad Nikah



KHITBAH. Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama al-khithab yang berarti pembicaraan dan yang kedua al-khathb yang artinya persoalan, kepentingan dan keadaan. Jadi, jika dilihat dari segi bahasa khitbah adalah pinangan atau permintaan seseorang (laki-laki) kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Makna khitbah menurut istilah syariat tidak keluar dari makna bahasa tadi.

Dalam islam, seorang laki-laki berhak meminang perempuan yang diinginkan menjadi istrinya, demikian pula seorang perempuan boleh meminang laki-laki yang diinginkan menjadi suaminya.
Khitbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad atau transaksi antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang atau pihak walinya. Khitbah bukanlah suatu ikatan perjanjian antara kedua belah pihak untuk melaksanakan pernikahan. Khitbah tidak lebih dari sekedar permintaan atau permohonan untuk menikah. Khitbah sudah sah dan sempurna hanya dengan ungkapan permintaan itu saja, tanpa memerlukan syarat berupa jawaban pihak yang dipinang. Sedangkan akad baru dianggap sah apabila ada ijab dan qabul (ungkapan serah terima) kedua belah pihak.

Dengan diterimanya sebuah pinangan baik oleh perempuan maupun oleh walinya, tidak bermakna telah terjadi ikatan perjanjian atau akad diantara mereka. Ibarat orang hendak naik kereta api, khitbah hanya bermakna “pesan tempat duduk� yang nantinya pada saat jadual kereta berangkat ia akan menduduki tempat tersebut sehingga tidak diduduki orang lain.

Syarat yang dipinang
Perempuan boleh dipinang oleh laki-laki (begitu juga sebaliknya) apabila memenuhi 2 syarat berikut ini :
1. Pada waktu dipinang perempuan itu tidak memiliki halangan syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan
contoh, wanita yang sedang dalam masa iddah.
2. Belum dipinang laki-laki lain secara sah.

Tata cara meminang
1. Laki-laki meminang melalui wali perempuan
2. Laki-laki meminang langsung kepada perempuan janda
3. Perempuan meminang laki-laki saleh
Perempuan boleh meminang laki-laki secara langsung oleh dirinya sendiri atau melalui perantara pihak lain agar menyampaikan pinangan kepada seorang laki-laki untuk menjadi suaminya.
4. Khitbah dengan sindiran dimasa iddah (karena suaminya meninggal)
Sindiran itu misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang janda , “saya ingin menikah dengan perempuan shalehah� atau “mudah-mudahan Allah memudahkan saya untukmendapat istri shalehah�.

Agar pinangan diterima
Sebenarnya tidak ada standard baku secara teknis untuk masalah ini. Tapi, beberapa langkah dibawah ini diharapkan mampu membantu melancarkan proses penerimaan dalam peminangan :

1.Melengkapi persiapan diri
- Persiapan pertama adalah keikhlasan niat bahwa mengkhitbahnya ini dalam rangka beribadah kepada Allah.
- Persiapan kedua adalah persiapan diri pribadi yang telah dibahas sebelumnya, yaitu menyiapkan minimal 4 persiapan, termasuk diantaranya yaitu persiapan finansial.

2. Memilih calon yang sekufu

3. Berbekal restu Orang Tua
Cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh restu dari orang tua diantaranya adalah sebagai berikut :
- Membangun komunikasi yang lancar dengan orang tua
- Melakukan pendekatan kepada orang tua sejak awal
- Mendialogkan perbedaan secara baik

4. Memperkenalkan diri
Ada suatu cerita yang kurang baik tentang hal ini. Ada pengalaman buruk ketika seorang ikhwan melaksanakan khitbahnya. Ia belum mengetahui siapa calon istrinya dan belum mengenal kedua orang tuanya. Ia mempercayakan urusan pernikahan kepada seorang teman kepercayaannya, dan ia tidak punya keinginan untuk berkenalan terlebih dahulu secara langsung. Ia hanya mengetahui data calon istri dari biodata tertulis dan pasfoto. Karena ia sudah mantap, tanpa pertemuan dan perkenalan awal, dilaksanakan prosesi khitbah.

Rombongan lelaki datang dengan orang tua dan saudara, Diterima oleh pihak perempuan lengkap pula komposisi keluarganya. Pertemuan menjadi formal karena kedua belah pihak satupun belum pernah ada yang bertemu dan mengenal, termasuk kedua calon mempelai. Suasana berubah menjadi kurang menyenangkan ketika ibu dari lelaki berbisik menanyakan yang mana calon istri yang dipinang, kebetulan diruangan itu ada lebih dari seorang perempuan. Tentu saja anak lelaki yang ditanya tidak bisa menjawab, karena memang belum pernah bertemu denga calon yang akan dipinang.

Semula kedua orang tua dari kedua belah pihak menyangka bahwa kedua anak yang akan menikah tersebut telah lama saling kenal, telah berkomunikasi langsung sebagaimana lazim dikenal dalam masyarakat luas. Mereka menjadi terkejut ketika ternyata kedua belah pihak belum saling mengenal. Hal ini menjadi catatan dan bahkan kemarahan pihak orang tua terhadap anaknya, karena dianggap telah mempermainkan orang tua.

Untuk itulah, laki-laki bisa bertemu dan berdialog dengan calon bahkan bisa juga ia memperkenalkan diri dengan bersilaturahmi ke orang tua perempuan sebelum peminangan resmi. Hal ini dapat mencairkan suasana, dan membuat proses peminangan berjalan lancar karena komunikasi telah dibuka sebelumnya.

Ditambah lagi, apabila tidak ada silaturahmi terlebih dahulu, terkadang menimbulkan suudzon, jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada anaknya sehingga meminta pernikahan begitu cepat. Perkenalan dan silaturahmi dapat menghilangkan praduga yang tidak-tidak pada orang tua dan juga keluarga besar.

5. Melibatkan orang yang dipercaya
Ketika khitbah sedang dalam proses, teman calon bisa kita jadikan referensi/tempat bertanya tentang jati dirinya.

6. Berdoa dan tawakal
Seluruh manusia pasti membutuhkan Allah. Doa merupakan senjata bagi orang mukmin. Hendaknya seluruh usaha manusiawi kita dilandasi dengan doa kepada Allah agar segala keputusan untuk meminang dia atau tidak, untuk menerima pinangannya atau tidak, senantiasa dalam bimbingan Allah Ta’ala. Dengan begitu, sejak awal kehidupan berumahtangga telah bergantung pada Allah dengan berharap dan berdoa pada-Nya saja.
Setelah usaha kita lakukan dengan maksimal, doa kita lantunkan tanpa rasa bosan, akhirnya kita serahkan segalnya kepada Allah. Inilah makna tawakal.

AKAD NIKAH
Perjanjian berat itu terikat melalui beberapa kalimat sederhana. Pertama adalah kalimat ijab, yaitu keinginan pihak wanita untuk menjalin ikatan rumah tangga dengan seorang laki-laki. Kedua adalah kalimat qabul, yaitu pernyataan menerima keinginan dari pihak pertama untuk maksud tersebut.

Ijab qabul dapat diucapkan dalam bahasa apapun. Bisa dalam bahasa arab maupun bahasa setempat.

Nikah adalah perjanjian berat. Kita harus menghayati ucapan ijab qabul. Salah satu syarat ijab qabul adalah kedua belah pihak memiliki sifat tamyiz (mampu membedakan baik dan buruk), sehingga ia harus memahami perkataan dan maksud dari ijab qabul itu. Diatas pemahaman terhadap maksud ijab qabul, ada penghayatan.

Setelah khitbah dilaksanakan, tidak ada batas minimal ataupun maksimal unutk melaksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung diteruskan dengan akad nikah itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia itu tidak lazim dilakukan.

Yang menjadi masalah adalah ketika akad nikah dilakukan dalam rentang waktu yang lama setelah khitbah dilaksanakan, peluang timbulnya fitnah akan lebih besar. Resikonya besar untuk keduanya melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Selain itu di satu sisi ia tidak boleh menerima pinangan dari orang lain, sedangkan di sisi lain ia belum menjadi seorang istri.

Pada saat pelaksanaan akad nikah, yang dituntut hadir adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali perempuan, 2 saksi, serta mahar.

Selasa, 04 Mei 2010

Azam Membela Islam


Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah masyarakat tidak hanya sebagai pemandu kehidupan tetapi juga sebagai pemberi arti bagi amal-amal yang dilakukan anggotanya.

Nilai dapat mengharmonikan pluralitas yang terdapat dalam sebuah masyarakat menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Oleh karena itu nilai-nilai selalu dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan dijunjung tinggi oleh semua anggota sebuah masyarakat.

Oleh karena posisi nilai dalam sebuah masyarakat demikian pentingnya maka ia selalu menjadi penggerak motivasi dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidupnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi tenaga (energi) yang mendorong seseorang untuk selalu bertekad (azam) dalam menegakkan dan bahkan membelanya.

Dalam konteks kaum muslimin nilai-nilai yang dimaksud adalah Islam, din yang mengandung tata nilai yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Setiap muslim seyogianya tidak hanya meyakini bahwa seluruh dimensi ajaran atau nilai-nilai Islam benar dan harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupannya, tetapi juga harus dibela agar Islam dapat tegak berada di atas agama-agama yang lain.

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS, At-Taubah: 33)

Bagi seorang muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.

Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.

Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى ءَادَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS, Thaha: 115)

Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal. Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.

Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan dalam menghadapi kerasnya perjuangan.

Selanjutnya kedua sayap itu siap menerbangkan azam seseorang ke alam kemenangan. Sejarah selalu membuktikan kekuatan azam sebuah kelompok, betapa pun kecilnya, dapat mengalahkan kelompok besar.

Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak bergantung kepada selain-Nya.

Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada firman Allah berikut:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

“Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul ‘azmi) dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ...” (QS, al-Ahqaf: 35)

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal.” (QS, Ali ‘Imran: 159)

Posisi azam dalam perjuangan dakwah jelas sangat penting. Oleh karena itu upaya membangun kemauan kuat di kalangan aktivis adalah bagian dari perjuangan itu sendiri. Sepanjang sejarah dakwah pembangunan kemauan kuat menjadi pilar utama pembentukan kader-kader yang siap terjun di medan perjuangan. Nabi Musa AS, sebelum memberikan komando agar Bani Israel berani memasuki bumi yang dijanjikan, selepas mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, terlebih dahulu memberikan pengarahan kepada Bani Israel tentang pentingnya azam dalam merealisasikan cita-cita. Firman Allah:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Ia menjadikan di tengah kalian para Nabi dan Ia jadikan kalian raja-raja (orang yang merdeka) dan Ia berikan kepadamu sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di dunia. Wahai kaumku, masuklah ke Tanah Suci yang telah dituliskan Allah atas kamu dan janganlah berbalik ke belakang, nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS, al-Ma`idah: 20)

Namun orang-orang Yahudi, karena kedegilan yang melekat pada diri mereka, tidak mampu menangkap makna pengarahan Nabi mereka. Apa yang terjadi sesudah itu membuktikan bahwa kemauan kuat, himmah (cita-cita) yang tinggi, azam yang membaja, dan tekad yang bulat menduduki posisi sentral dalam perjuangan dakwah, bahkan dalam setiap amal. Rasulullah SAW menegaskan bahwa cita-cita yang tinggi merupakan bagian dari iman.

Kenyataannya Bani Israel tetap berada dalam keraguan, tidak memiliki azam, dan tekad mereka lemah. Mereka lebih percaya kepada kekuatan materi yang tampil dalam tubuh perkasa orang-orang Amalek yang telah lama menduduki tanah Palestina itu. Mereka melupakan siapa yang menyuruh mereka memasuki tanah yang dijanjikan itu dan yang telah memberikan jaminan kemenangan.

قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ

“Kami berkata, “Hai Musa, kami tak akan memasukinya selama-lamanya selama mereka ada di sana, maka pergilah engkau dan Tuhanmu, lalu berperanglah, karena kami akan duduk-duduk.” (QS, Al-Ma`idah: 24)

Dengan demikian tingkat azam seseorang dapat menentukan tingkat kualitas perjuangannya. Maka kekokohan azam seorang da’i dalam membela agamanya menentukan kualitas dan nilai amal perjuangannya. Selanjutnya kekuatan azam tersebut akan mendudukkan dirinya pada posisi terdepan dalam barisan mujahidin dan layak memperoleh penghargaan.

Mereka, orang-orang yang kualitas azamannya tinggi, umumnya tidak banyak. Meski demikian mereka dapat menggerakkan mesin kemenangan. Misalnya dalam deretan nama-nama nabi kita kenal 5 nama yang diberi gelar ulul ‘azmi. Mereka adalah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW.

Kaum Hawariyyun, kaum Muhajirin dan Anshar adalah kelompok-kelompok yang memiliki azam yang tinggi dalam membela agama mereka. Oleh karena itu sejarah perjuangan mereka sempat diabadikan dalam al-Qur`an.

Oleh karena azam untuk membela Islam merupakan bagian dari kondisi psikis muslim, maka kita perlu menciptakan kondisi psikis yang memungkinkan azam itu tumbuh subur dalam kalbu kita. Di sini kita perlu terus-menerus melakukan dialog dengan diri sendiri dan memastikan bahwa diri kita tidak ragu untuk memperjuangkan Islam.

Untuk sampai pada kepastian itu hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti kehidupan kita di dunia ini. Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sebuah ibtila` (ujian). Di sinilah kita diuji dan di sini pula ladang tempat penghimpunan bekal yang menentukan nasib kita di akhirat nanti.

Oleh karena itu aktivitas fisik dan psikis kita selama hidup di alam fana harus sejalan dengan nilai-nilai yang telah kita yakini. Selanjutnya kita dituntut memiliki kesadaran batin melalui serangkaian proses “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) spiritualitas kita. Dengan bersungguh-sungguh kita terus-menerus menerapkan metode-metode pensucian jiwa yang dapat mengkristalkan/mengokohkan azam kita untuk membela Islam dan mengantarkannya kepada kemenangan sejati.

Kesadaran batin tersebut merupakan energi yang tertanam dalam diri kita. Dengan kesadaran itu kita dapat melihat fenomena-fenomena kehidupan yang terpampang di hadapan kita dan menumbuhkan kepercayaan pada diri kita. Selanjutnya dengan percaya diri dan kemantapan kalbu kita melakukan mujahadah dalam menghadapi berbagai godaan yang dapat menyeret kehidupan ke jurang kenistaan.

Dari kesadaran batin itulah hendaknya logika dibangun. Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan sesuai dengan fitrah manusia. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan kalbu, yaitu motif-motif dan emosi-emosi yang paling dalam, dan dari penghayatan kita kepada nilai-nilai Islam. Logika yang tidak berupa pandangan-pandangan akal yang sering menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Logika paling simple tetapi penuh makna, “Hidup mulia atau mati syahid.” Dengan logika itulah kita berazam.
Wallahu A’lam.