Selasa, 16 Juni 2009


Kebaikan Dibalik Keburukan

Allah berfirman:
�Janganlah kalian kira bahwa itu buruk bagi kalian, bahkan itu baik bagi kalian.� (QS. an-Nur: 11)

Saudaraku kaum muslimin....
Ayat yang mulia ini mengajarkan kepada kita kaidah agung yang luar biasa. Kaidah mulia yang membuka cakrawala wawasan seorang pejuang, sehinga perjuangan semakin terasa lapang. Banyak sekali ayat-ayat semisal yang patut menjadi renungan, di antaranya:
- Ayat pertama dan kedua.
Allah berfirman:
�Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.� (QS. Al-Ba-qarah: 216)
�Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.� (QS. An-Nisa': 19)
Ibnul Qayyim berkata:
�Ayat pertama menyangkut masalah jihad yang merupakan puncak kekuatan kemarahan, sedang ayat kedua tentang nikah yang merupakan puncak kekuatan syahwat.
Seorang hamba benci apabila ia menghadapi musuh secara langsung dengan kekuatan kemarahan, khawatir pada dirinya. Apa yang dikha-watirkan ini sebenarnya baik bagi kehidupannya maupun dalam permusuhannya. Ia pun lebih menyukai meninggalkannya dan berpaling darinya, sedang apa yang dia sukai ini sebenarnya buruk bagi kehidupannya dan permusuhannya. Demikian pula dalam masalah apa yang dibenci dari sifat-sifat wanita, maka bersabar atasnya terkandung banyak kebaikan yang tidak diketahuinya.
Manusia, sebagaimana Allah telah memberikan sifatnya adalah dholuman jahula (dholim lagi jahil). Maka hendaknya menjadikan pilihannya atas apa yang menyebabkan kemudharatan dan kemanfaatan, kebencian dan kecintaan, keridhoan dan kemarahan adalah apa yang telah Allah pilihkan baginya.
Secara mutlak, sesuatu yang paling bermanfaat adalah ketaatan kepada Rabb secara dhohir maupun batin. Sedangkan sesuatu yang paling berbahaya adalah bermaksiat kepada-Nya secara dhohir maupun batin. Apabila ketaatan dan peribadahan ditegakkan berlandaskan keikhlasan, maka semua apa yang terjadi, walauun perkara yang dibenci, akan menjadi baik baginya. Apabila kosong dari ketaatan dan peribadahan, maka setiap apa yang terjadi dari perkara yang dicintai adalah buruk baginya.
Barangsiapa yang benar pengetahuannya tentang Rabbnya, faham akan nama dan sifat-sifat-Nya, mengilmui dengan penuh keyakinan bahwa hal-hal yang dibenci yang menimpanya, ujian yang dihadapinya, di dalamnya pasti terkandung kebaikan dan kemanfaatan yang tak terhitung oleh ilmunya dan fikirannya. Bahkan kebaikan terhadap akibat dari sesuatu yang dibenci seorang hamba, lebih besar dari kebaikan pada sesuatu yang dicintainya.� (al-Fawaid, 91-93)
Ketika menjelaskan [QS. an-Nisa' (4): 19], Pemilik kitab al-Manar berkata:
�Ayat tersebut menyebutkan kaidah umum dalam semua permasalahan, tidak terbatas pada masalah wanita saja. Yaitu sebagian apa yang dibenci manusia terdapat banyak kebaikan baginya. Ketika kebaikan telah nampak, akan membersihkan sesuatu yang dibencinya itu. Kaidah ini sangat diterima akal, dan dibenarkan oleh kenyataan. Oleh sebab itu Allah berfirman:
�Karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu...�
Tidak berfirman: Karena mungkin kalian membenci wanita.
Sesungguhnya dalam kesabaran atas apa yang dibenci, terkandung faidah-faidah lain yang tidak mungkin didapat pada hal-hal yang disukai.� (Tafsir al-Manar)

- Ayat ketiga.
�Jika kalian (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syu-hada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.� (QS. Ali Imran: 140-141)
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Sesungguhnya kesempitan setelah kelapangan, kelapangan setelah kesempitan, keduanya ini akan menying-kap tabir jiwa, tabiat-tabiat hati, baik berupa tingkat kekeruhan dan kejernihannya, tingkat keluh kesah dan kesabarannya, tingkat kepercayaan dan keputusasaannya kepada Allah, maupun tingkat penerimaan, kejemuan dan ketidakterkendaliannya terhadap takdir Allah.
Saat itulah tampak mana barisan orang-orang beriman dan mana barisan orang-orang munafik. Tampaklah hakikat jiwa-jiwa mereka. Terungkaplah apa yang lahir dan apa yang tersembunyi di dalam jiwanya. Bersihlah barisan Islam dari kerancuan di antara para anggotanya yang bercampur baur dan tidak jelas.
Allah mengetahui siapa orang-orang beriman dan siapa orang-orang munafik. Allah mengetahui apa yang terlipat dalam hati. Berbagai kejadian dan pergiliran masa kejayaan dan kehancuran di antara manusia menyingkapkan apa yang tersembunyi, menjadikannya sebagai realitas dalam kehidupan manusia, memunculkan iman kepada amalan nyata, dan memunculkan nifak ke dalam tindakan nyata pula. Sebab itu berhubungan dengan penghitungan dan pembalasan. Sedang Allah tidak menghisab manusia menurut apa yang di-ketahuinya, tetapi menurut apa yang terjadi pada mereka.�
Syaikh Rasyid Ridho berkata:
�Manusia tertutupi dari mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya, tidak akan terungkap hakikat dirinya kecuali setelah latihan yang sering dan ujian-ujian berat. Latihan dan ujian inilah seperti emas yang sedang disepuh, kemudian menjadi murni setelahnya. Demikian pula pada jiwa manusia, akan terbedakan mana yang benar imannya dan mana yang munafik, nampak pula jiwa-jiwa lemah dari kaum beriman sesuai dengan kadarnya masing-masing. Maka akan hancur leburlah orang-orang yang menyelisihi perkara Nabi dan tamak dengan ghanimah. Sedangkan orang-orang yang konsisten dan kokoh, merekalah yang mendapat pelajaran. Khususnya, dengan semua ujian berat itu, akan diketahui bahwa seorang muslim tidak diciptakan untuk kelalaian dan main-main, bukan pula agar bermalas-malasan dan berpangku tangan, tidak hanya menggigit jari, hanya menanti keajaiban, dan me-rubah sunah-sunah Allah yang ada pada makhluknya. Tetapi ia diciptakan agar menjadi manusia yang paling banyak ilmunya, dan agar lebih bisa menjaga tugas-tugasnya dan sunnah-sunnah-Nya.� (Tafsir al-Manar)
- Ayat keempat.
�Allah sekali-kali tidak akan mem-biarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan seperti kalian seka-rang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).� (QS. Ali Imran: 179)
Ibnu Katsir berkata:
�Harus diyakini bahwa ujian adalah sebab akan nampaknya wali-wali-Nya, nampak nyata siapa musuh-Nya, dan dapat diketahui mana mukmin yang sabar dan munafik yang merugi.� (Tafsir al-Qur�an al-Azhim)
Syaikh Muhammad Rasyid Ridho berkata:
�Ujian-ujian yang dahsyat akan membedakan antara yang kuat imannya dan yang lemah imannya. Itulah yang akan mengangkat keinginan yang lemah menuju tingkatan yang lebih kuat, dan hilanglah kesamaran antara orang-orang yang benar dengan orang-orang yang munafik. Terkandung di dalamnya faidah yang banyak sekali. Di antaranya:
1. Orang-orang yang jujur dalam iman, kadang-kadang masih ada kemungkinan disertai orang munafik, yaitu ketika adanya prasangka baik dan terpedaya oleh orang-orang amal-amal munafik berupa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sifatnya dhohir, serta keikutsertaan mereka bersama orang-orang yang benar imannya dalam beberapa amalan. Maka jika orang-orang beriman mengetahui hakikatnya, mereka akan waspada.
2. Akan diketahui hakikat kekuatan sebenarnya dari sebuah jamaah. Karena hal tersebut dapat menyingkap keadaan orang-orang munafik yang berada dalam jamaah tersebut, akan diketahui bahwa mereka di atas kemunafikan bukan di atas jamaah.� (Tafsir al-Manar)
- Ayat kelima.
�Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang.� [QS. al-An'am (6): 12]
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa rahmat Allah meliputi semua apa yang Allah putuskan dan takdirkan.
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah sifat utama-Nya dalam memperlakukan mereka. Bahkan, pada saat memberikan cobaan dengan kesulitan. Dia memberikan cobaan kepada mereka dengan tujuan untuk menyiapkan mereka dalam menanggung amanah-Nya. Sebab, cobaan itu berguna untuk menyucikan, membersihkan, memberikan pengetahuan dan kesadaran, serta memberikan kesiapan kepada mereka.
Selain itu, cobaan-Nya juga untuk membedakan barisan orang yang buruk dengan orang yang baik. Sehingga, diketahui siapa yang mengikuti Rasulullah dan siapa yang menyim-pang dari jalan beliau. Dengan begitu, orang yang kemudian binasa adalah binasa dalam kejelasan dan orang yang hidup adalah hidup dalam kejelasan. Rahmat Allah dalam semua itu amat sangat jelas.
Perasaan seperti itu terhadap hakikat ini akan mendatangkan ketenangan dalam hati orang yang beriman terhadap Robbnya. Bahkan, saat dia sedang menghadapi cobaan dan kesulitan yang demikian berat sekalipun. Karena ia meyakini bahwa rahmat Allah akan selalu menyertainya dalam setiap detik, setiap situasi, dan setiap tempat. Ia meyakini pula bahwa Robb-nya memberikan cobaan kepadanya bukan karena Dia menjauhi dan meng-usirnya dari rahmat-Nya. Allah tidak pernah mengusir seorangpun dari rahmat-Nya, saat orang itu mengharapkan rahmat-Nya. Namun, manusia sendiri yang mengusir diri mereka dari rahmat ketika mereka kafir terhadap Allah, menolak dan menjauhkan diri dari rahmat-Nya!
Perasaan tenang terhadap rahmat Allah akan menumbuhkan keteguhan dan kesabaran dalam hati. Juga harapan dan optimisme, serta ketenangan dan kelapangan jiwa. Karena dia sedang berada dalam penjagaan yang penuh kasih sayang, yang di rasakan kedamaian!�
- Ayat keenam.
�Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.� [QS. Fathir (35): 2]
Pemilik kitab Fi Dhilal berkata:
�Nikmat apapun yang jika tidak disertai rahmat Allah, niscaya akan berubah menjadi bencana. Cobaan apapun yang disertai rahmat Allah, niscaya akan berubah menjadi nikmat. Ketika seseorang tidur di atas duri, dengan disertai rahmat Allah, maka duri itu berubah menjadi kasur empuk. Sementara seseorang yang tidur di atas sutra tanpa disertai rahmat Allah, niscaya sutra itu berubah menjadi duri.
Perkara-perkara yang paling sulit jika disertai rahmat Allah, akan dengan mudah ditangani. Sementara perkara yang amat mudah, jika tidak disertai rahmat Allah, akan berubah menjadi amat berat dan sulit. Dengan rahmat Allah itu, maka seseorang dapat mengarungi ketakutan dan bahaya dengan aman dan perasaan te-nang. Sementara tanpa rahmat Allah, seseorang yang menyusuri jalan bebas hambatan sekalipun dapat binasa.
Tidak ada kesempitan jika disertai rahmat Allah. Kesempitan itu terjadi jika tidak ada rahmat Allah. Tidak ada kesempitan sama sekali, meskipun seseorang sedang berada di sempitnya penjara, atau di tengah siksa, atau di ujung kematian. Sementara tidak ada kelapangan jika tidak disertai rahmat Allah, meskipun seseorang sedang berada di tengah kenikmatan, dan di tempat yang indah luar biasa. Dari dalam diri seseorang, dengan rahmat Allah, akan terpancar mata air kebahagiaan, keridhoan dan kedamaian. Dan jiwa yang tidak mendapat rah-mat Allah, akan dipenuhi oleh kegelisahan, kelelahan, kepenatan dan penderitaan!
Harta dan keturunan, kesehatan dan kekuatan, kedudukan dan kekuasaan dapat menjadi sumber kegelisahan, keletihan dan kelalahan, jika tidak disertai rahmat Allah. Sementara jika Allah membuka pintu-pintu rahmat-Nya, maka di situ terdapat ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
Rahmat Allah bukanlah sesuatu yang mustahil bagi seseorang yang mencarinya, di manapun dan dalam kondisi apapun. Rahmat Allah itu didapatkan oleh Ibrahim dalam api yang menyala. Didapatkan oleh Nabi Yusuf dalam sumur yang dalam, juga ia dapatkan dalam penjara. Didapatkan oleh Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan hiu atau paus, dalam kegelapan yang sangat. Didapatkan oleh Nabi Musa di lautan air, sementara ia masih seorang anak kecil yang sama sekali tak memiliki kekuatan dan tak ada penjagaan, sebagaimana ia dapatkan di istana Fir'aun, padahal Fir'aun itu adalah musuhnya yang mengincar dan mencarinya.
Rahmat itu didapatkan oleh Ashabul Kahfi ketika mereka tak mendapatkannya di istana dan rumah penduduk. Kemudian seseorang dari mereka berkata kepada yang lain:
�Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu.� (QS. al-Kah-fi: 16)
Dan didapatkan oleh Rasulullah beserta sahabat beliau di dalam gua, padahal ketika itu kaum Quraisy sedang mencari-carinya serta mengikuti jejaknya. Juga didapatkan oleh semua orang yang berlindung kepada rahmat Allah serta tidak mengharapkan dari yang selain-Nya. dengan menyingkirkan semua keraguan atas kekuatan Allah dan rahmat-Nya, sambil menuju kepada Allah semata, tidak kepada yang lain-Nya.�
  • Saudaraku kaum muslimin....
Rahmat Allah akan senantiasa mengiringi para pejuang di segala keadaan, di segala kondisi, di semua ruang. Ada pada dirinya, ada pada perasaannya, ada di sekelilingnya, di manapun dia berada. Saatnya mencurahkan segenap daya dan upaya demi membuka pintu-pintu rahmat Allah itu melalui perjuangan di puncak keihklasan. Rahmat yang mengandung kebaikan dahsyat, hatta dalam sesuatu yang kita sangka keburukan pun, di sana ada banyak kebaikan.

Tidak ada komentar: