Selasa, 23 Juni 2009

Kepekaan Vs Keshalihan
Dua kata ini terlintas di kepalaku setelah dalam perjalanan tadi aku mampir di sebuah mushalla kecil. Selesai berwudhu, akupun melangkah ingin memasuki musholla. Tapi tertunda. Mushalla (lebih tepatnya ruang kecil untuk shalat)yang hanya bisa dipakai shalat untuk 4 orang itu masih belum bisa kumasuki. Aku hanya berdiri di depan pintu yang berada di sisi kanan mereka yang sedang sholat Maghrib. Alhamdulillah, kulihat 3 orang selesai shalat, 1 lainnya masih melanjutkan rakaat terakhir, Sebentar lagi aku bisa shalat. Paling hanya beberapa menit mereka berdzikir dan berdoa, pikirku.

Sudah lebih 6 menit, mereka yang berdzikir dan berdoa belum juga beranjak dari duduknya. Sementara itu aku dan (kalau tak salah hitung) 5 orang di sekitarku juga kepingin shalat. Maka kuberanikan diri untuk menyapa salah satu dari mereka yang sedang khusyu’ berdzikir dan berdoa. Tapi aku hanya ditatap sebentar, lalu ia kembali asyik bermunajat kepada Tuhannya.

Satu dari empat orang di ruang kecil itu keluar. Ia adalah orang yang shalatnya paling akhir selesai. Baru selangkah kakiku maju, seseorang lainnya menyela dan menempati area kosong untuk satu orang itu. Akh, aku kurang cepat! Mungkin orang yang menyela tadi sudah tak sabar ingin menemui Tuhannya. Atau mungkin dia takut berdosa jika kehabisan waktu maghribnya. hm…

Menurutku, kesalehan tak ada manfaatnya jika tak dibarengi dengan kepekaan. Mengapa mereka yang saleh dalam melaksanakan ibadah ritual tak memiliki kepekaan terhadap lingkungan? Mengapa mereka hanya memikirkan kepentingan spiritualnya sendiri tanpa memberikan kesempatan untuk hamba Tuhan lainnya? Sebegitu parahkah kecerdasan emosional para pelaku perjalanan spiritual? Apakah pengalaman spiritual merupakan satu aspek yang kontradiktif dengan kepekaan sosial/emosional?

Waktu shalat jum’at, ada seorang bapak membawa serta putrinya yang masih belum sekolah. Sejak khatib mulai berkhotbah hingga jelang shalat, anak tersebut tak henti-hentinya menangis, berteriak minta pulang. Aku berprasangka, mungkin banyak orang yang merasa terganggu, beberapa orang menengok ke arah Bapak yang tetap duduk tak bergeming sementara anaknya menangis histeris. Rupanya bapak itu lebih mementingkan ibadahnya ketimbang memulangkan anaknya kepada istrinya yang aku tahu jaraknya tak lebih dari 20 M dari masjid ini. Mungkin Bapak itu lebih mementingkan pahala untuk dirinya dari Allah sehingga tak peduli dengan keresahan kaum muslimin semasjid. Apakah pengalaman spiritual merupakan satu aspek yang kontradiktif dengan kepekaan sosial/emosional?

Temanku curhat. Ia punya teman kerja (seorang perempuan). Setiap hari selalu telat masuk kantor. Ke kantorpun membawa serta anak-anaknya. Di kantorpun lebih banyak bermain dengan anak-anaknya ketimbang melayani customer yang berjejer di ruang tunggu. Setengah jam sebelum jam pulang, biasanya sudah dijemput oleh suami tercinta. Temanku beberapakali mengingatkannya, namun tak pernah bisa berubah. Yang membuat temanku kesal, teman kantornya itu adalah satu-satunya karyawan yang rajin shalat. Itu ia ketahui dari formulir pribadi berjudul "lembar mutaba’ah" yang pernah diperlihatkannya. Temannya selalu shalat 5 waktu, setiap pekan menghafal beberapa ayat al-qur’an dan hadits, menghadiri pengajian rutin pekanan, membaca al-ma’tsurat, shaum sunnah, qiyamullail, dll. Tetapi mengapa kegiatan rutin yang ia lakukan itu tak membuat spiritualitasnya cerdas dan peka terhadap lingkungan dan pekerjaan?

Kegiatan spiritual, tak akan memiliki manfaat sosial jika hati pelakunya tak benar-benar tunduk dan sujud kepada Allah. Banyak orang yang rajin sujud, bahkan hingga jidatnya kapalan (menghitam), namun dalam kehidupan sehari-hari tak pernah sujud. Justru ia ingin semua orang sujud kepadanya (baca: menuruti kemauannya, menghormati kesalehannya). Sujud yang ia lakukan kala shalat tak membuatnya sujud ketika lepas shalat. Bacaan sujud yang ia ucapkan, Subhana rabbiyal A’la wa bihamdihi, justru malah membuatnya merasa lebih suci, merasa posisinya lebih tinggi, dan gila pujian.

hm… sudah saatnya nyukur jenggot nih… emoticon

Tidak ada komentar: