Kamis, 15 Oktober 2009


Amuk Massa Pilkada, Cermin Dari Lemahnya Fungsi Kontrol dan Tanggung Jawab Parpol

Pemilihan kepala daerah (PILKADA) di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, menorehkan sejarah noda hitam bagi proses demokratisasi di negeri ini. Terlebih lagi, sejauh ini pelaksanaan Pilkada yang sudah diadakan di Jawa Timur telah berjalan normal di 18 Kabupaten/kota. Adapun sempat terjadi gejolak demo-protes dibeberapa daerah tetapi tidak sampai terjadi aksi anarki pengrusakan-pembakaran (hingga mengakibatkan kerugian yang mencapai puluhan milyar), hanya riak-riak demokrasi yang justru menggambarkan adanya proses demokratisasi, perbedaan pendapat yang akhirnya bermuara pada proses hukum sebagai panglima.

Contoh kasus Pilkada Gresik, meski sempat terjadi demo besar-besaran yang melibatkan ribuan massa pendukung tapi puncak kekuatiran aksi massa akan berbuat anarkis dapat dihindarkan. Meski putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur menolak gugatan penggugat; Sambari Halim/calon yang kalah dalam Pilkada melawan incumbent ; Robach Maksum/pemenang pilkada; sebagai pihak tergugat (dalam hal ini kasus Pilkada Gresik) dapat diselesaikan melalui proses peradilan, selanjutnya, stabilitas Kabupaten Gresik kembali berjalan normal dan terkendali.

Terjadinya amuk massa yang anarkis dalam proses Pilkada sebenarnya alasannya sangat klasik, bukan kasusistik. Alasannya hampir selalu bisa dipastikan karna massa pendukung dari calon yang diusung ternyata kalah dalam perolehan suara. Akumulatif perasaan kalah dan kecewa massa pendukung menjadi api amarah yang tak terhindarkan ketika terhembus isu bahwa telah terjadi rangakaian-rangkaian kecurangan yang telah dilakukan oleh pasangan pemenang, baik dugaan adanya pemilih ganda maupun pemilih drop-dropan, penghitungan/penggelembungan suara, saksi yang berpihak pada salah satu calon, maupun opini terjadinya money politik.

Dalam kasus Tuban, kondisi awal diperparah dengan adanya indikasi dan aroma keberpihakan dari penyelenggara pilkada (KPUD) terhadap salah satu calon (incumbent Haeny Relawaty). Aroma miring ini dapat dicermati (biasanya) mulai dari tahap awal persyaratan untuk menjadi calon, yakni mulai dari tahap pendaftaran dan penerimaan persyaratan dengan segala kelengkapannya, pengesahan calon, pengundian nomor urut sampai pada tahap akhir yakni penetapan keputusan; penetapan calon kepala daerah/berita acara perolehan suara atau pengumuman hasil akhir pilkada.

Tidak netralitasnya KPUD serta kekurangsiapan dari pihak penyelenggara pilkada ini, baik dalam lemahnya proses sosialisasi, pengawasan dan distribusi logistic surat suara, hingga tahapan-tahapan yang terkait dengan hak pemilih untuk mendapatkan kartu pemilih yang mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi rakyat, semakin menambah daftar dosa ketidaksiapan dan lemahnya KPUD.

Begitu pula dengan panitia pengawas (Panwasda), hampir dipastikan peran dan fungsi kontrolnya sama sekali tidak berjalan dengan baik dan semestinya. Tidak ada kemandirian pokok (independensi), seolah hanya sebagai bagian pelengkap dari perjalanan proses suatu penyelenggaraan pilkada belaka

Sementara kesigapan tugas aparat keamanan yang seharusnya lebih dominan sebagai pengawal stabilitas dari tiap tahapan berlangsungnya proses demi proses pilkada juga kurang responsible/kurang tanggap dalam meng-antisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerusuhan yang bisa terpicu oleh isu maupun provokasi dari berbagai pihak yang bisa terjadi setiap saat, yakni terjadinya peluang mobilisasi arus massa yang puncaknya kerusuhan saat berlangsungnya pilkada maupun kerusuhan pasca pilkada.

Seharusnya tugas aparat keamanan dari jauh hari sudah harus betul-betul siaga satu-konsentrasi penuh dengan menjaga titik-titik rawan asset daerah (termasuk asset-asset warga), mulai dari pendopo kabupaten, kantor KPUD, juga fasilitas umum lainnya. Aparat keamanan harus mampu membaca peta dan kondisi (politik), dengan meminimalisir peta ruang gerak arus gejolak massa yang akan muncul. Artinya aparat keamanan harus berani dan mampu mencegah-meredam dan bahkan harus membubarkan (sekalipun) dengan secara paksa adanya pengelompokan massa, karna rasio semakin banyaknya massa yang berkumpul maka akan semakin sulit dapat dikendalikan.

Gelombang arus massa yang berakhir sangat anarkis dan beringas yang terjadi di Tuban dari sebagian besar gelombang massa yang datang -awalnya justru menaiki truk-truk yang telah dipersiapkan sebelumnya, sejurus kemudian terkordinat pada titik-titik sasaran tertentu. Artinya telah terjadi perencanaan/setting arus mobilisasi massa atau pengumpulan massa dengan maksud dan tujuan tertentu. Dugaan ini semakin kuat karna gelombang massa anarkis ini ternyata sangat tahu betul kordinat sasaran- hingga ke sasaran berikutnya, termasuk obyek sasaran milik siapa (;asset incumbent -sekaligus pemenang Pilkada). Tentu dugaan ini bukan suatu kebetulan belaka.

Kenapa aksi ini dibiarkan? Benarkah ini pengadilan rakyat? (trial by the people?) atau hanya pengadilan jalanan –sebagai pelampiasan dari suatu kelompok yang jagonya kalah? Pertanyaan berikutnya, benarkah aksi massa yang anarkis dan beringas itu sudah mewakili suara seluruh rakyat Tuban? Rekayasa apalagi yang mengatasnamakan ‘kepentingan’ rakyat? Jangan pernah lagi kita menggunakan kalimat ‘demi kepentingan rakyat’ kalau hanya bertujuan sebagai alasan pembenar saja! Jangan pernah lagi jadikan rakyat sebagai kambing hitam politik!!

Komitmen Moral ’siap kalah’ Bukan Sekadar Slogan!

Perlu sikap mental yang sportif dan tanggung jawab dari tiap orang/kelompok orang/partai, untuk mengakui kekalahan dan kekurangan diri sendiri/kelompok/partai serta harus mampu menghargai kelebihan dan kemenangan orang lain/kelompok lain/partai lain.

Kematangan pribadi seseorang/kelompok menjadi syarat mutlak yang diperlukan dalam sistem demokrasi ini. Sebab, demokrasi pada dasarnya merupakan sistem politik yang mengakui pluralisme (kemajemukan) untuk ikut ambil bagian dalam berbagai aktivitas politik hingga pengambilan kebijakan public.

Untuk mencapai demokrasi yang sehat, pengungkapan ‘siap kalah-siap menang’ tidak hanya menjadi slogan saja, perlu komitmen moral yang kuat dari semua peserta pilkada. Perlu kesungguhan komitmen yang sangat mendasar dari tiap-tiap partai politik pengusung calon. Bahkan, partai politik sudah seharusnya ikut bertanggung jawab secara penuh atas segala yang terjadi dalam proses pilkada (mulai dari tahap awal hingga akhir), termasuk terjadinya aksi-aksi massa anarkis yang mengakibatkan kerugian materi. Partai politik sebagai pengusung calon harus aktif bertanggung jawab mengontrol, meredam dan mengendalikan semua kegiatan arus massanya. Partai politik harus bertanggung jawab secara penuh memberikan rasa aman terhadap semua lapisan rakyat, bukan justru sebaliknya

Apapun penyebabnya, kerusuhan aksi massa anarkis pilkada Tuban memberikan kita pelajaran. Pertama, KPUD sebagai penyelenggara pilkada (terutama di daerah-daerah rawan konflik) harus benar-benar siap. Tahapan demi tahapan pelaksanaan pilkada harus dilakukan dengan benar, mandiri-adil (tidak berpihak!) dan dengan sosialisasi yang terencana serta jelas. Dalam hal ini KPUD dituntut harus benar-benar menjaga netralitasnya.

Kedua, keberadaan Panwasda, harus benar-benar menjadi pengawas dari tiap-tiap proses tahapan yang dilakukan KPUD. Keberadaan Panwasda tidak hanya sebagai pelengkap. Kehadirannya lebih merupakan sebagai badan pengawas yang mencatat-mengagendakan semua proses tahapan dengan benar, mandiri dan bertanggung jawab. *Dirasa perlu kehadiran komisi pengawas yang benar-benar independent (catatan: kehadirannya bukan merupakan representative dari pihak-pihak yang punya kepentingan, melainkan harus benar-benar mandiri dan netral, yang bertugas mencatat- dan menjadi saksi serta melakukan sosialisasi dari tiap tahapan yang sudah dilakukan KPUD).

Ketiga, dibutuhkannya Komisi Saksi yang betul-betul independent pada tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS). Komisi ini bertugas secara pro aktif menyaksikan, mendokumentasikan dan ikut mencatat penghitungan serta rekapitulasi suara. Tugas utamanya adalah siap memberikan kesaksian di KPU (ketika rekapitulasi akhir; sebelum penetapan pengumuman pemenang pilkada) dan di Pengadilan apabila terjadi adanya penyimpangan atau kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu pihak hingga timbul perkara gugatan pasca pilkada.

Keempat, dibutuhkan kesigapan, kecermatan dan keberanian dari pihak aparat keamanan dalam memantau tiap-tiap perkembangan kondisi. Aparat keamanan harus menjadi pengawal yang pandai (tidak ambivalen), dan harus tegas (agar dapat dipercaya) dari semua proses tahapan, yakni memberikan rasa aman kepada semua pihak-pihak terutama kepada semua warga masyarakat.

Kelima, partai politik harus benar-benar ikut menjamin secara penuh, aman dan suksesnya proses selama berlangsungnya penyelenggaraan pilkada. Komitmen siap kalah-siap menang harus benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, termasuk harus ikut bertanggung jawab terhadap terjadinya gelombang aksi massa anarki yang dilakukan kelompoknya, terlebih sampai menimbulkan kerugian materi dan ketakutan dari warga masyarakat.

Keenam, tokoh-tokoh partai politik tingkat pusat juga harus ikut menjamin dan bertanggung jawab terhadap semua sikap tindakan yang diambil oleh parpolnya di daerah. Jangan justru sebaliknya ikut berkomentar secara subyektif (ikut memprovokasi) –yang akhirnya dapat meningkatkan serta memperluas suhu konflik dari tingkat daerah menjadi skala nasional.

Begitu besar harapan rakyat yang dipertaruhkan dan di embankan kepada partai politik sebagai wadah dari aspirasi rakyat ini. Karna bagaimanapun, keberadaan partai politik sebenarnya adalah menjadi pelaku utama dari perjalanan berlangsung-tidaknya proses demokratisasi rakyat dalam suatu proses pemilihan. Lantas, apa jadinya kelak bangsa ini kalau rakyat sudah tidak lagi menaruh kepercayaan dan harapan terhadap partainya? Terhadap tingkah laku para pemimpin partainya?

Fungsi Partai Politik 1. Parpol sebagai sarana komunikasi politik; Salah satu tugas dari parpol adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat, dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat menjadi berkurang.

Dalam masyarakat kita yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau kelompok harus ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur (interest articulation) yang selanjutnya dirumuskan kembali sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan-disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan

umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat dapat disampaikan dan disalurkan kepada pemerintah melalui partai politik.

Dilain pihak, partai politik berfungsi juga untuk menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dimana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dengan warga masyarakat.

Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara.

2. Parpol sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization); Dapat diartikan sebagai proses seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana seseorang berada. Proses sosialisasi ini berjalan berangsur-angsur -yang mencakup norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kerangka panjangnya sarana sosialisasi politik ini bertujuan dan berusaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam Pemilu (pemilihan umum). Partai harus beruha memperoleh dukungan seluas mungkin.

Untuk itu partai berusaha menciptakan "image" atau citra bahwa ia memperjuangkan kepentingan rakyat. Disamping menanamkan solidaritas partai, partai politik berkewajiban mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan diri sendiri dibawah kepentingan nasional. 3. Partai politik sebagai sarana recruitment politik; yakni mengajak orang-orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik, system kaderisasi untuk mengganti pimpinan lama (selection of leadership) 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management); Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan sesuatu yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik harus secara cepat, tepat dan tanggap untuk berusaha mengatasinya.

Tapi dalam prakteknya, partai politik sering mengabaikan fungsi-fungsi tersebut diatas, tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan rakyat. Misalnya informasi yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam suatu masyarakat; yang dikejar bukanlah kepentingan nasional, akan tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat pengkotakan politik; atau konflik tidak malah secara cepat diselesaikan justru malah dipertajam.

Merosotnya Nilai Budaya?

Kekerasan demi kekerasan terus menerus kita lihat dan kita alami. Di koran dan di TV, hampir setiap saat aksi-aksi kekerasan-dan kejahatan menjadi menu pemandangan kita sehari-hari.

Entah siapa yang salah, Pemerintah/Pejabat Negara?, Polisi?, Pemimpin partai?, Sistem aturan;perundang-undangan? atau Rakyat kita sendiri? Tapi, bukankah sebenarnya Pemerintahan sekarang telah dengan sekuat tenaga berupaya keras menegakkan keadilan, memberantas KKN (tanpa tebang pilih; disegala aspek) –menegakkan supremasi hukum sebagai satu-satunya panglima! Polisi? Bukankah Polisi era sekarang sudah jauh lebih tertib, terbuka dan lebih professional jika dibanding era sebelumnya!, Pemimpin Partai? Bukankah Pemimpin partai era sekarang (kelihatannya?) juga lebih pandai dalam bersikap-bertutur membela-mengatasnamakan rakyat dengan bahasa politis daripada era sebelumnya!, Sistem aturan? Bukankah semua perangkat aturan (mulai dari Dasar Negara, Lambang Negara, UUD 1945, sampai KUHP, Norma Agama, dstnya) yang ada sudah begitu tegas, lugas dan jelas pengaturan maupun sanksi-sanksi hukumnya!, Lantas, apakah rakyat/masyarakat kita sendiri yang salah? Mari kita semua merenungkan kembali masalah ini…

"Bukankah bangsa ini dari dulu telah tersejarahkan sebagai bangsa yang kokoh akan tatakrama-bangsa yang beradab, yang diakui memiliki nilai-nilai budaya tinggi nan luhur yang tertib, sopan, santun, saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain dalam rangkaian tuntunan norma/kepercayaan/agama!"

Tampaknya kita semua mulai dari sekarang dituntut keras untuk mampu sadar diri (SD: Sadar Diri, SMP: Sadar Mengenai Posisi, SMA: Sadar Mengenai Akibat) dengan memperbaiki merosotnya nilai-nilai budaya bangsa. Kesadaran semua pihak dan terutama para orang tua merupakan pintu dasar utama memperbaiki tatanan moral anak bangsa yang berbudaya, karna sebenarnya persoalan demokrasi bukan semata-mata merupakan persoalan kelembagaan politik, melainkan juga persoalan social budaya, persoalan moral, persoalan tatanan berperilaku, dan persoalan nilai-nilai pertanggung jawaban.

Kita boleh-boleh saja menciptakan lembaga-lembaga penunjang sistem demokrasi, tetapi selama nilai-nilai budaya masyarakat belum bisa dijalani dengan baik, dengan secara luhur, saling menghargai-menghormati secara tulus dan benar maka nilai demokratisasi akan sangat sulit diterapkan bagi suksesnya penyelenggaraan Pemilu, Pilkada, DPR dan Parpol-parpol dapat berjalan dengan baik -penuh rasa hormat, karna selama ini belum berperilaku secara berbudaya. Takaran budaya demokrasi yang dijalankan selama ini masih terbatas setengah hati.

Peran para pemimpin dan para tokoh (serta semua komponen-elemen bangsa) akan menjadi kacabenggala bingkai utama untuk menuju perbaikan demokrasi kearah yang benar, kearah bangsa yang bermartabat, terhormat-berbudi luhur, berbudaya dalam kehidupan rakyatnya menuju keadilan sosial- yang aman dan sejahtera. Dan, bukankah sebenarnya konsep tujuan awal sampai akhir dari awal berdirinya sebuah Negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya?


Tidak ada komentar: