Kamis, 21 April 2011

Refleksi Hari Kartini = Kolonialisasi Wanita


Seorang ibu bersama anak perempuannya tergopoh gopoh memasuki sebuah salon. Tak lama kemudian si anak yang masih berusia belasan keluar dengan mengenakan pakaian adat kebaya jawa. Rambutnya disanggul, wajahnya dibalut bedak dan bibirnya dipoles dengan gincu. Sejurus kemudian, ibu dan anak tersebut tenggelam dalam perayaan bertajuk “Hari Kartini” yang diselenggarakan di sebuah mal di pusat kota.
Tepat tanggal 21 April, peristiwa unik terlihat dimana-mana. Sebagian besar perempuan Indonesia disibukkan berbagai kegiatan. Mulai dari anak TK, gadis SMU sampai ibu-ibu PKK memadati salon-salon. Mereka antre untuk didandani dengan berbagai kostum pakaian daerah. Beberapa gadis muda terlihat kikuk dan tersiksa dengan dandanan tersebut. Apa boleh buat, mereka dipaksa oleh guru atau mungkin orang tuanya untuk melakukannya.
Hari kelahiran Kartini sejak pemerintah Orde Baru diidentikan dengan mitos kepahlawanan emansipasi perempuan. Lalu dibuatlah perayaan-perayaan di pelosok Indonesia untuk mengenang jasa-jasa Kartini. Namun ironis, perayaan itu hanya sebatas seremonial yang justru membatasi aktivitas perempuan, jauh dari makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Hari Kartini hanya diisi dengan berbagai lomba seperti peragaan busana, pasang sanggul, memasak, pasang dasi, atau sejenisnya yang khas wanita. Parahnya sebagian aktivis perempuan justru acuh tak acuh dengan momentum itu. Mereka menganggap Kartini tidak mewakili semangat feminisme yang kini sedang diperjuangkan. Lalu, masih relevankah Hari Kartini untuk tetap dirayakan?
Merayakan Kewanitaan
Sekelompok aktivis perempuan di Jakarta pernah melontarkan ide untuk mengganti Hari Kartini dengan Hari Perempuan. Ide ini menarik untuk dijadikan wacana masyarakat luas. Karena di samping Kartini, bangsa Indonesia toh memiliki cukup banyak perempuan-perempuan sebagai figur perjuangan perempuan itu sendiri. Tokoh-tokoh semacam Dewi Sartika yang memperjuangkan emansipasi asal Jawa Barat, Tjut Nyak Dien yang selama hidupnya menderita karena berjuang melawan penjajah Belanda dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu Kartini mungkin bisa diterima oleh masyarakat di Pulau Jawa dengan segala kultur yang ada. Namun, tidak demikian halnya di tempat lain, seperti di luar Pulau Jawa.
Semangat Kartini juga dicurigai telah tereduksi. Gejalanya terlihat dari berbagai perlombaan khas wanita yang marak diselenggarakan. Lomba-lomba itu memanfaatkan momentum Hari Kartini dengan hal semacam kepandaian merias wajah, kelihaian memasak atau keluwesan memperagakan busana. Alih-alih ingin meningkatkan peranannya, kegiatan tersebut justru menjebak perempuan. Disadari atau tidak kaum perempuan dibentuk sebagai mahluk sekunder, justru melalui kegiatan seperti itu.
Masyarakat kemudian dengan mudah mengidentikkan Hari Kartini sebagai “Merayakan kewanitaan” sebuah perayaan khas wanita. Mengenaskan memang, Seolah-olah semua gagasan cemerlang dari tokoh ini cukup “dirayakan” dengan peragaan busana dan lomba memasak. Hari Kartini lambat laun melembaga dan mengental menjadi mitos. seperti juga tahun-tahun sebelumnya, para pejabat pemerintah yang terlihat paling sibuk menyiapkan pidato berisi pujaan kepada Kartini untuk diucapkan dalam acara resmi. Istri para pegawai negeri yang tergabung dalam Dharma Wanita tiba-tiba bingung menyiapkan kain kebaya apa yang akan dipakai untuk menghadiri upacara itu. Tidak lupa media massa baik elektronik maupun cetak, sibuk mewawancarai perempuan-perempuan yang dianggap menonjol dalam masyarakat untuk ditempatkan dalam Headline berita.
Kartini bukan lagi dihargai sebagai sosok manusiawi. Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar buku Panggil Aku Kartini Saja (1998) mengatakan, “Kartini disebut-sebut di berbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri.” Kartini memang bukanlah figur yang melulu cemerlang dalam hidupnya. Toh, ia bukan istri pertama dari Bupati Rembang kala itu. Oleh sebab itu, bisa dikatakan Kartini adalah simbol korban kolonisasi ganda. Di satu pihak, ia adalah korban sistem kolonial Belanda ketika itu dan di lain pihak ia merupakan korban sistem feodal yang patrialkal.
Sebenarnya fenomena yang disebutkan diatas tidak perlu terjadi, jika kaum perempuan sadar akan posisinya dan mau mendekonstruksi bangunan kultur yang telah mapan. Upaya itu dapat dimulai dengan melakukan kritik sejarah, mencoba menampilkan sosok Kartini seutuhnya dalam konteks sosial politik yang terjadi pada saat itu, kemudian mencoba memberi makna dan apresiasi terhadap ide-idenya, mengerti, memahami pergulatan batin dan merasakan ketidakadilan yang dialaminya dan dialami juga oleh masyarakatnya pada saat itu.
Kolonisasi Wanita ?
Persoalan yang dihadapi perempuan saat ini bukan lagi sekedar emansipasi dan pemberdayaan, seperti pada masa Kartini. Beberapa kalangan masih menganggap bahwa pusat permasalahan perempuan terdapat pada perempuan itu sendiri.
Kartini adalah simbol populer bagi pembebasan perempuan di Indonesia sehingga sampai pada hari ini 21 April 2011, seluruh masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan pun bersama-sama memperingatinya sebagai perjuangan perempuan untuk membebaskan diri dari belenggu patriarkhi. Meskipun tidak dapat diingkari bahwa ada perempuan-perempuan lain yang berkiprah dalam hal yang sama bahkan lebih dahulu dari beliau. Akan tetapi, berkat akses terhadap pendidikan dan modal yang dimiliki maka beliaulah yang lebih dikenal dan dikenang sebagai simbol perjuangan perempuan pertama di Indonesia.
Akses merupakan salah satu aspek yang sangat dominan, dalam pemasaran produk, dan dakwah. Dengan mempunyai banyak akses kita bisa menyebarkan kebaikan lebih banyak karena kita mempunyai medan dakwah yang luas. Jika dakwah tidak mempunyai akses, selain medan dakwah akan terbatasi, bukan tidak mungkin akan dibubarkan ditengah jalan atau mungkin dikejar-kejar banyak pihak seperti halnya “N11” yang banyak diberitakan akhir-akhir ini.

Tidak ada komentar: