Rabu, 27 April 2011

Sang Waktu Tak Pernah Kembali


Waktu, masa, tempo, atau apapun namanya, hanyalah bagaimana manusia menyebutnya. Namun ia sendiri tak pernah peduli dengan sebutannya. Ia terus berjalan dan bergulir, menggilas, hingga akhirnya menciptakan sketsa perjalanannya, itulah sejarah.
Betapa berharganya waktu, sehingga Allah telah bersumpah dalam Quran, Demi Masa. Dan karenanya Imam Syafii Rahimahullah pun mengatakan “sekiranya Allah tidak menurunkan surat yang lain, maka cukuplah Ia menurunkan surat Al Ashr”.
Waktu dihitung dari periode perputaran bumi terhadap matahari, kemudian manusia mengaturnya dalam satuan-satuan detik, menit, jam, hari, tahun.., sekehendak hatinya. Maka waktupun terus berjalan, sekehendaknya pula. Pagi, petang, pagi lagi, lalu petang kembali. Hari ini Senin dan esok akan datang Senin lagi. Seolah ia berputar namun sebenarnya ia tak pernah kembali. Sang waktu menyapu yang hidup dan hanya tunduk pada Penciptanya, untuk mempergilirkan yang hidup, dan memberi bukti ketidakabadian.
Belum sempat Firaun mengikuti risalah Musa sebagai bukti keimanannya, dan ia binasa di dasar samudera. Belum sempat Abu Thalib mengikrarkan syahadat, ia telah meninggalkan Rasul dalam hati gundah gulana. Sungguh waktu diciptakan untuk tidak berkompromi pada siapapun. Belum usai Asy Syahid Sayyid Quthb menuliskan Fi Zhilalil Quran, dan kini ia telah menghadap Rabbnya. Betapa waktu juga tidak mau bertoleransi untuk suatu kebajikan sekalipun.
Waktu berlalu menggoreskan rekaman sejarah, keadilan atau kedzaliman. Tak lebih seabad Enver Hoxha menghuni dunia, kemudian menjadi tiran yang memporakporandakan Islam di Albania. Namun ia menorehkan kisah kebencian di dada muslim Albania hingga akhir dunia. Ketika kepongahan itu hanya berusia sesaat, sang pongah menuai caci-maki untuk waktu yang lama, lebih lama dari usia kepongahannya. Aksioma waktu: datang dan pergi.
Hari ini Shahih Bukhari ada hampir di setiap madrasah dan tempat ibadah, tak sulit memperolehnya. Tak nampak proses letihnya kelana Imam Bukhari mengarungi negeri-negeri menghimpun hadits, membuang ribuan yang palsu, lalu ber-istikharah mencari keteguhan hati. Itulah aksioma waktu: berlalu dan tak kan kembali.
Usia kita adalah hidup kita bersama waktu. Kita lahir, kemudian menjadi besar dan tua karena waktu, untuk kemudian waktu jualah yang membatasi kehidupan ini. Yang lemah, perkasa, cantik, atau yang kaya, akan tiba kepada akhir perjalanannya bersama waktu, kematian.
Semua yang terjadi, hanya akan menjadi masa lalu, seperti pesan puisi:

Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti.
Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,
Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.*


Tatkala segala sesuatu akhirnya hanya menjadi akan masa lalu, bukankah berarti akan ada ‘masa depan’ ? Jika masa lalu adalah ketidak-abadian, bukankah masa depan adalah keabadian itu?
Kelak akan tiba masa dimana semua akan tetap muda. Mengarungi hidup tanpa siang atau malam, tanpa matahari apalagi arloji. Hidup yang tak mengenal libur Minggu karena tiada kalender.
Dan disana manusia akan tetap hidup, tanpa menjadi renta, tanpa sanggup mengukur usia. Itulah akhirat, itulah keabadian, saat dimana manusia tidak akan tahu – dan tak akan pernah merasa perlu tahu – tentang waktu.
* kutipan puisi “Jikalah Pada Akhirnya”

Kamis, 21 April 2011

Refleksi Hari Kartini = Kolonialisasi Wanita


Seorang ibu bersama anak perempuannya tergopoh gopoh memasuki sebuah salon. Tak lama kemudian si anak yang masih berusia belasan keluar dengan mengenakan pakaian adat kebaya jawa. Rambutnya disanggul, wajahnya dibalut bedak dan bibirnya dipoles dengan gincu. Sejurus kemudian, ibu dan anak tersebut tenggelam dalam perayaan bertajuk “Hari Kartini” yang diselenggarakan di sebuah mal di pusat kota.
Tepat tanggal 21 April, peristiwa unik terlihat dimana-mana. Sebagian besar perempuan Indonesia disibukkan berbagai kegiatan. Mulai dari anak TK, gadis SMU sampai ibu-ibu PKK memadati salon-salon. Mereka antre untuk didandani dengan berbagai kostum pakaian daerah. Beberapa gadis muda terlihat kikuk dan tersiksa dengan dandanan tersebut. Apa boleh buat, mereka dipaksa oleh guru atau mungkin orang tuanya untuk melakukannya.
Hari kelahiran Kartini sejak pemerintah Orde Baru diidentikan dengan mitos kepahlawanan emansipasi perempuan. Lalu dibuatlah perayaan-perayaan di pelosok Indonesia untuk mengenang jasa-jasa Kartini. Namun ironis, perayaan itu hanya sebatas seremonial yang justru membatasi aktivitas perempuan, jauh dari makna sebenarnya yang ingin disampaikan. Hari Kartini hanya diisi dengan berbagai lomba seperti peragaan busana, pasang sanggul, memasak, pasang dasi, atau sejenisnya yang khas wanita. Parahnya sebagian aktivis perempuan justru acuh tak acuh dengan momentum itu. Mereka menganggap Kartini tidak mewakili semangat feminisme yang kini sedang diperjuangkan. Lalu, masih relevankah Hari Kartini untuk tetap dirayakan?
Merayakan Kewanitaan
Sekelompok aktivis perempuan di Jakarta pernah melontarkan ide untuk mengganti Hari Kartini dengan Hari Perempuan. Ide ini menarik untuk dijadikan wacana masyarakat luas. Karena di samping Kartini, bangsa Indonesia toh memiliki cukup banyak perempuan-perempuan sebagai figur perjuangan perempuan itu sendiri. Tokoh-tokoh semacam Dewi Sartika yang memperjuangkan emansipasi asal Jawa Barat, Tjut Nyak Dien yang selama hidupnya menderita karena berjuang melawan penjajah Belanda dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu Kartini mungkin bisa diterima oleh masyarakat di Pulau Jawa dengan segala kultur yang ada. Namun, tidak demikian halnya di tempat lain, seperti di luar Pulau Jawa.
Semangat Kartini juga dicurigai telah tereduksi. Gejalanya terlihat dari berbagai perlombaan khas wanita yang marak diselenggarakan. Lomba-lomba itu memanfaatkan momentum Hari Kartini dengan hal semacam kepandaian merias wajah, kelihaian memasak atau keluwesan memperagakan busana. Alih-alih ingin meningkatkan peranannya, kegiatan tersebut justru menjebak perempuan. Disadari atau tidak kaum perempuan dibentuk sebagai mahluk sekunder, justru melalui kegiatan seperti itu.
Masyarakat kemudian dengan mudah mengidentikkan Hari Kartini sebagai “Merayakan kewanitaan” sebuah perayaan khas wanita. Mengenaskan memang, Seolah-olah semua gagasan cemerlang dari tokoh ini cukup “dirayakan” dengan peragaan busana dan lomba memasak. Hari Kartini lambat laun melembaga dan mengental menjadi mitos. seperti juga tahun-tahun sebelumnya, para pejabat pemerintah yang terlihat paling sibuk menyiapkan pidato berisi pujaan kepada Kartini untuk diucapkan dalam acara resmi. Istri para pegawai negeri yang tergabung dalam Dharma Wanita tiba-tiba bingung menyiapkan kain kebaya apa yang akan dipakai untuk menghadiri upacara itu. Tidak lupa media massa baik elektronik maupun cetak, sibuk mewawancarai perempuan-perempuan yang dianggap menonjol dalam masyarakat untuk ditempatkan dalam Headline berita.
Kartini bukan lagi dihargai sebagai sosok manusiawi. Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar buku Panggil Aku Kartini Saja (1998) mengatakan, “Kartini disebut-sebut di berbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri.” Kartini memang bukanlah figur yang melulu cemerlang dalam hidupnya. Toh, ia bukan istri pertama dari Bupati Rembang kala itu. Oleh sebab itu, bisa dikatakan Kartini adalah simbol korban kolonisasi ganda. Di satu pihak, ia adalah korban sistem kolonial Belanda ketika itu dan di lain pihak ia merupakan korban sistem feodal yang patrialkal.
Sebenarnya fenomena yang disebutkan diatas tidak perlu terjadi, jika kaum perempuan sadar akan posisinya dan mau mendekonstruksi bangunan kultur yang telah mapan. Upaya itu dapat dimulai dengan melakukan kritik sejarah, mencoba menampilkan sosok Kartini seutuhnya dalam konteks sosial politik yang terjadi pada saat itu, kemudian mencoba memberi makna dan apresiasi terhadap ide-idenya, mengerti, memahami pergulatan batin dan merasakan ketidakadilan yang dialaminya dan dialami juga oleh masyarakatnya pada saat itu.
Kolonisasi Wanita ?
Persoalan yang dihadapi perempuan saat ini bukan lagi sekedar emansipasi dan pemberdayaan, seperti pada masa Kartini. Beberapa kalangan masih menganggap bahwa pusat permasalahan perempuan terdapat pada perempuan itu sendiri.
Kartini adalah simbol populer bagi pembebasan perempuan di Indonesia sehingga sampai pada hari ini 21 April 2011, seluruh masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan pun bersama-sama memperingatinya sebagai perjuangan perempuan untuk membebaskan diri dari belenggu patriarkhi. Meskipun tidak dapat diingkari bahwa ada perempuan-perempuan lain yang berkiprah dalam hal yang sama bahkan lebih dahulu dari beliau. Akan tetapi, berkat akses terhadap pendidikan dan modal yang dimiliki maka beliaulah yang lebih dikenal dan dikenang sebagai simbol perjuangan perempuan pertama di Indonesia.
Akses merupakan salah satu aspek yang sangat dominan, dalam pemasaran produk, dan dakwah. Dengan mempunyai banyak akses kita bisa menyebarkan kebaikan lebih banyak karena kita mempunyai medan dakwah yang luas. Jika dakwah tidak mempunyai akses, selain medan dakwah akan terbatasi, bukan tidak mungkin akan dibubarkan ditengah jalan atau mungkin dikejar-kejar banyak pihak seperti halnya “N11” yang banyak diberitakan akhir-akhir ini.

Rabu, 20 April 2011

Wahai para da’i, kerja kita belum tuntas!


“Sungguh akan terurai ikatan (agama) Islam itu satu demi satu! Apabila terurai satu ikatan, orang-orang pun bergantung pada ikatan berikutnya. Ikatan yang pertama kali lepas ialah hukum, sedangkan yang terakhir kali lepas ialah shalat.” (HR. Ahmad).

Kerja Dakwah
Mobilitas secara horizontal dan vertical akan berjalan efektif dan mencapai target apabila didukung kerja dakwah yang prima:
Pertama, nasyrul hidayah, menyebarluaskan hidayah Allah SWT. Apakah secara qoulan (lisan), amalan (amal), atau qudwatan (keteladanan). Sehingga benih-benih kebaikan dapat tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.
Seorang muslim, wabil khusus aktivis gerakan Islam, harus menjadi teladan tentang nilai-nilai Islam dalam dirinya, yaitu saat bekerja, berbicara, makan, minum, akhlak dan tarbiyah, simpatik kepada orang lain, menjaga lisan dan jujur dalam berucap, tolong-menolong, dan sebagainya. Apabila ia melakukan semua itu karena Allah, ia akan menjadi pribadi yang bagaikan batu bata dalam membangun masyarakat Islam.
Sadarilah wahai para da’i, sesungguhnya masyarakat tidak akan berubah menjadi islami jika tidak mengenal hidayah Allah, dan bagaimanakah mereka dapat mengenal hidayah Allah tanpa teladan dan bimbingan dari para ulama dan para da’i. Oleh karena itu, setiap kita harus mengambil peranan. Kita harus bekerjasama menciptakan situasi yang kondusif bagi tumbuhnya kultur keislaman di tengah masyarakat.
Para jurnalis harus berperan menjadi pelopor dalam melakukan kebaikan dan meluruskan pemikiran masyarakat melalui media informasi, misalnya melalui koran atau majalah yang mereka miliki. Media-media tersebut harus mengeluarkan masyarakat dari kebobrokan moral, lebih peduli pada pembinaan akhlak, dan berupaya membentuk opini umum.
Yayasan-yayasan kebajikan harus menjalankan perannya dalam membantu fakir miskin, menutupi kebutuhan orang-orang yang kekurangan, memberikan tunjangan untuk pelajar, dan menyebarkan sifat kedermawanan di tengah masyarakat.
Partai-partai politik harus menjaga kesatuan bangsa dan kehormatannya serta memperjuangkan kemerdekaan negeri dengan harta, jiwa, dan usaha.
Organisasi-organisasi keislaman dengan berbagai macam corak aktivitasnya harus berupaya mewarnai masyarakat dengan niali-nilai Islam yang universal.
Para menteri yang shalih harus melakukan perbaikan dalam departemen yang mereka tangani. Setiap muslim harus membela, melindungi, dan mempertahankan kebaikan dalam semua segi kehidupan di masyarakat.
Drama dan sinetron islami harus menjadi alternative di tengah-tengah gempuran film-film cabul, sinetron picisan, dan acara-acara televisi yang merusak lainnya.

Bank-bank Islam harus menyadarkan umat dari bahaya riba yang telah menjerumuskan mereka dalam ekonomi ribawi.

Para wakil rakyat dan anggota parlemen harus menjadi perisai dalam menjaga nilai-nilai moral.
Institusi pendidikan Islam harus mencetak dan membina para siswanya dengan menjadikan Islam sebagai prinsip.

Seluruh elemen masyarakat harus didorong untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan serta melakukan islamisasi dalam kehidupan mereka. Dengan begitu akan terwujudlah masyarakat yang berwibawa.

Kedua, nasyrul fikrah, menyebarluaskan idealisme agar masyarakat memiliki semangat perjuangan dan dukungan kepada kehidupan yang lebih islami. Kegiatan ini dilakukan dengan mentarbiyah umat, mengingatkan masyarakat, mengubah opini umum, menyucikan jiwa, membersihkan ruhani, menyebarkan prinsip kebenaran, jihad, bekerja, dan menyebarkan nilai-nilai keutamaan di tengah umat manusia.
Diantara sarana yang dapat digunakan oleh para aktivis dakwah adalah: majelis ta’lim, seminar, ceramah, khutbah, kunjungan dakwah, dan lembaga kajian. Selain itu sangat baik jika gerakan Islam mampu memunculkan media informasi (cetak/elektronik) yang dapat merebut opini umum untuk mendukung fikrah Islam.

Selain itu, aktivis Islam hendaknya tidak enggan melakukan nasyrul fikrah secara langsung kepada lingkungan terdekatnya. Bukankah di sekitar rumah kita ada masjid yang dapat mempertemukan kita sebanyak lima kali dalam sehari dengan tetangga-tetangga kita? Sudahkah kita menyampaikan kepada mereka apa yang seharusnya kita sampaikan?

Ada hal unik yang patut kita teladani dari para aktivis Partai Refah di Turki. Mereka memiliki petugas yang bertanggung jawab mengurusi setiap bagian jalan. Setiap petugas mengetahui dan mengenal betul seluruh yang ada di sekitar dan di sepanjang jalan tersebut. Setiap mereka menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah-rumah yang ada di sisi jalan yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka mengucapkan rasa gembira pada saat bergembira dan memberikan ucapan bela sungkawa jika sedang ditimpa musibah. Dari sepanjang jalan inilah mereka menyampaikan fikrah dan sikap partai mereka. Pertanyaan buat kita: Apakah kita pernah berkunjung dan berbicara dengan tetangga kita di rumahnya? Sebenarnya pekerjaan ini sangat mudah untuk dilakukan bagi mereka yang mau mencobanya.

Islam adalah agama untuk semua manusia. Jika kita lalai menyampaikan informasi tentang keislaman, kita termasuk orang yang berdosa. Gerakan Islam yang hakiki adalah gerakan yang melakukan dakwah dan tabligh. Dengan mengajak itulah kita akan dapat membentuk opini umum pada masyarakat. Dengan cara seperti itu saja, kita akan dapat mewarnai masyarakat dengan warna Islam untuk menuju perubahan.

Ketiga, menggiatkan aktivitas amar bil ma’ruf dan nahyi ‘anil munkar, yakni berupaya melakukan konsolidasi, koordinasi, dan mobilisasi seluruh potensi positif konstruktif di tengah-tengah masyarakat agar memberikan kemaslahatan bagi umat, bangsa, negara, kemanusiaan, dakwah, dan lain sebagainya. Serta melakukan langkah-langkah minimalisasi atau mempersempit ruang gerak kemungkaran.

Jika dikaitkan dengan hadits di atas, yang mengilhami kita tentang visi dakwah syamilah, maka aktivitas dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar yang kita lakukan harus menyentuh seluruh aspek: (1) Aspek ibadah, mulai dari bagaimana mengajak shalat ke masjid, berpuasa, zakat, infaq, sedekah, haji, memberantas judi, miras, prostitusi, dan sebagainya. (2) Aspek keadilan, hukum, dan pemerintahan, mulai dari memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani, dan nelayan, menegakkan HAM, menegakkan pemusyawaratan dan pembangunan ekonomi umat, mengurangi diskriminasi di hadapan hukum, melestarikan lingkungan hidup, membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya.

Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Keempat, memelihara ruwiyah islamiyah (identitas masyarakat Islam) dan al-mazhar al-islami (penampilan Islam). Simbol-simbol keislaman harus dimunculkan, apakah yang bersifat fisik (bangunan masjid, mushola, madrasah, dll) atau aktivitas (pendidikan Islam, majelis ta’lim, dll).

Tiga Cita-cita Besar
Jadi, kita harus bekerja lebih keras lagi, karena di hadapan kita ada tiga cita-cita besar yang harus kita wujudkan:
1. Cita-cita Dakwah
2. Cita-cita Politik
3. Cita-cita Peradaban
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah, 9: 105)

Wahai para da’i, kerja kita belum tuntas!
Wallahu a’lam.

Senin, 18 April 2011

"Ujian dan Cobaan, Pertanda Kian Dekatnya Kemenangan."


Berlayar mengarungi samudera, jangan berharap kau kan tiba di pulau tujuan tanpa cobaan mendera. Sebelum layar dibentangkan, inilah yang harus terpatri dalam diri menjadi kesadaran. Bahwa berbagai keindahan dari sebuah pelayaran panjang dan kenikmatan di pulau tujuan,
berbanding lurus dengan besarnya tantangan yang menghadang. Tak kan pernah kau dapatkan indahnya pemandangan angkasa menjulang di tengah samudera luas membentang, selagi kau masih takut menembus hempasan gelombang. Ini bukan sekedar resiko perjalanan, tapi tlah menjadi
aksioma tak terbantahkan.
Di sini, di perahu ini, kita sedang merangkai keutuhan dan persaudaraan, kesetiaan dan keteguhan, apapun posisi dan kedudukan. Karena kita telah memiliki tujuan, harapan dan mimpi yang sama ingin diwujudkan. Namun, kita tidak pernah menafikan adanya kesalahan, kelalaian dan kekhilafan, bahkan juga kejenuhan, kekecewaan, kemarahan, hingga silang sengketa yang tak terhindarkan. Itu wajar belaka, karena memang tidak satu pun di antara kita yang mengaku tiada cela tiada dosa. Namun kesamaan tujuan, mimpi dan khayalan, kan segera menyatukan, meluruskan langkah ke depan, menghapus resah dan kemarahan, berganti semangat yang terbarukan. Karenanya, kita sambut gembira setiap arahan, nasehat dan pesan-pesan yang dapat menguatkan
serta menyatukan, sekeras apapun. Tapi, fitnah yang memecah barisan, tuduhan yang memojokkan, umpatan dan celaan yang menjatuhkan, serta aib yang dibeberkan, apalagi tindakan melobangi perahu agar kandas atau tenggelam, tidak pernah dapat kami terima, baik secara logika
apalagi perasaan. Bagaimanapun, kami bukan batu yang diam diketuk palu.
Di sini, di perahu ini, kita sedang menjadikan badai dan gelombang sebagai ujian kejujuran, sarana muhasabah untuk memperteguh perjuangan, juga sarana belajar menjaga komitmen atas kesepakatan yang tlah dinyatakan. Karenanya, alih-alih badai ini menceraiberaikan atau meluluhlantakkan, justeru dia menjadi moment paling tepat untuk semakin rekat, melupakan kesalahpahaman yang sempat menimbulkan sekat.
Mereka di kejauhan, boleh jadi bersorak sorai kegirangan ketika kita terombang ambing di tengah gelombang, berharap satu persatu dari kita tenggelam menjemput ajal menjelang. Tapi tahukah mereka? Justeru saat ini kami rasakan kehangatan tangan saudara kami yang erat saling berpegangan, justeru saat ini kami rasakan kekhusyuan doa-doa untuk keselamatan dan persatuan, justeru saat ini kami semakin yakin bahwa seleksi kejujuran memang harus lewat ujian, justeru saat ini kami jadi dapat membedakan mana nasehat dan mana dendam kesumat, mana masukan
bermanfaat dan mana makar jahat, mana senyum tulus persaudaraan dan mana senyum sinis permusuhan.
Di sini, di perahu ini, justeru di tengah badai gelombang, kita jadi semakin mengerti pentingnya nakhoda yang memimpin dan mengendalikan, juga semakin menyadari pentingnya syura untuk mengambil keputusan, lalu pentingnya belajar menerima keputusan setelah disyurakan. Adanya
kepemimpinan dan syura memang memberatkan, karena proses jadi panjang, langkah-langkah jadi terhalang aturan, keinginan sering tertunda menunggu keputusan. Tapi ini tidak dapat kita hindari, karena kita tidak berlayar sendiri, bergerak sendiri, mengambil keputusan sendiri dan menanggung resiko sendiri. Justeru karena kita berlayar bersama, maka kepemimpinan dan syura mutlak harus ada. Kepemimpinan memang bukan nabi yang maksum dan mendapatkan legalitas wahyu dalam setiap kebijakan, kesalahanpun bukan sebuah kemustahilan meski tidak kita anggap kebenaran. Tapi kepemimpinan yang dibangun oleh syura, telah memenuhi syarat untuk disikapi penuh penghormatan dan ketaatan, sepanjang tidak ada ajakan kemaksiatan. Sebagian orang boleh jadi
mengatakan ini sikap taklid buta, kita katakan, 'Inilah komitmen kita!' Sebagian lagi katanya merasa kasihan dengan anak buah yang tidak mengerti banyak persoalan dan hanya ikut ketentuan, kita
katakan, 'Kasihanilah dirimu yang sering menghasut tanpa perasaan!'
Di sini, di perahu ini, ketika badai menghantam dari kiri dan kanan, depan dan belakang, teringat perkataan para shahabat dalam sebuah peperangan, tatkala musuh dari luar datang menyerang dan orang dekat menelikung dari belakang, 'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Ahzab: 22)

Ibnu Katsir menjelaskan, "Maksudnya, inilah janji Allah dan Rasul-Nya berupa ujian dan cobaan, pertanda kian dekatnya kemenangan."

Sabtu, 16 April 2011

SERING KITA SADAR SECARA TERPAKSA


Dikisahkan, ada seorang raja yang mengalami kegemukan. Dan karena itu pula, ia sering sakit-sakitan. Hampir semua dokter dan tabib telah di datangkan untuk mengobati penyakit sang Raja. Tapi, penyakit itu tak kunjung sembuh juga.

Tinggal satu orang tabib yang belum di panggil, itupun karena ia dikenal berfikiran beda dan kadang dianggap tidak wajar. Tapi, karena tidak ada pilihan lain lagi, maka di panggillah tabib yang dianggap setengah gila ini.

Maka datanglah tabib itu kepada Raja. Ketika sang tabib masuk dan memeriksa, ia langsung berlari keluar kamar dengan wajah ketakutan. Maka, ia di kejar oleh pengawal istana, dan ditanya tentang penyait sang Raja. Tapi, tabib setengah gila ini tak mau menjawabnya, meski telah di bujuk sedemikian rupa.

Setelah ia diancam akan mendapatkan hukuman barulah ia memberitahu, bahwa umur Raja tinggal 28 hari lagi. Sang Raja sedang menunggu ajalnya. Mendengar jawaban tabib, sang Raja sangat kaget. Iapun menangis tersedu.

Sejak itu, Raja yang gemuk itu tidak bisa makan enak dan tak lagi tidur nyenyak. Sejak mendengar perkataan tabib, Rajapun mulai melaksanakan ibadah. Namun sampai pada hari ke 28, sang raja belum meninggal, maka di panggillah tabib tadi unntuk menghadap. Dengan enteng, tabib aneh itu hanya menjawab “Sri Raja memang tidak mati, tapi berat badan baginda turun drastiS dari sebelumnya”.

Ditulis kembali dari buku Engkau Lebih Cantik Dari Bulan Purnama_Muhamad Yasir.

Sahabat..

Tentunya kita tidak mau dikatakan melakukan ibadah karena terpaksa seperti yang dilakukan oleh Raja dalam kisah diatas..Namun kita bisa menilai sendiri apakah diri kita selama ini melaksanakan ibadah karena cinta padaNya atau terpaksa karena kewajiban semata. Keterpaksaan ini biasanya muncul karena ketidakpahaman kita akan makna dan manfaat kita beribadah.

Sesungguhnya, apabila kita mau memahami perintah Allah dan aturan yang telah ditetapkanNya, maka kita akan menyadari bahwa ia begitu indah. Keindahan agama merupakan suatu hal yang sulit untuk didapatkan apabila kita masih saja beribadah karena terpaksa atau memiliki tujuan yang sifatnya duniawi, bukan karena mengharap ridhoNya.

Sahabat..

Allah tidak punya kepentingan terhadap ibadah kita...yang berkepentingan justru kita sendiri... So….berhentilah menunda-nunda ketaatan pada Allah...Mari beribadah padaNya dengan kesungguhan, penuh keikhlasan dan kesabaran semata karena kecintaan padaNya bukan dengan keterpaksaan..Karena pada akhirnya kita semua akan kembali kepadaNya dengan rela atau terpaksa..

Kisah-kisah motivasi

Jumat, 15 April 2011

Kiat Mengatasi Kekecewaan Di Jalan Dakwah


“Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama.

Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa.
Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari.

Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan.

Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter.

TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya.

Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu.

Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu.

Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata.

Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka.

Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa.

Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT.

Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas !

Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia.

So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa.

Kamis, 14 April 2011

Dakwah Tidak Bisa Dipikul Oleh Orang yang Manja


Dalam perjalanan ke Najed, Abu Musa Al Asy ari RA meriwayatkan “Dalam perjalanan itu kami keluar bersama Rasullullah SAW. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta. Seorang naik unta secara bergantian. Sambil menunggu giliran kami harus menempuh perjalanan yang panjang, sehingga telapak kaki kami pecah-pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami balut kaki kami dengan sobekan kain sehingga aku menyebut peperangan itu
Dakwah Tidak Dapat Dipikul Oleh Orang yang Manja
Oleh: Ustadz Dh Al-Yusni

perang Dzatur Riqaa’ ‘Sobekan Kain’. Abu Musa Al Asy’ari menyebutkan hadits ini tetapi kemudian ia tidak menyukainya. Seolah-olah dia tidak suka untuk menceritakan pengalamannya.

Dalam riwayat Ibnu Ishaq dan Ahmad dari Jabir bin Abdullah RA ia menceritakan, “Kami berangkat bersama Rasullah SAW pada perang Dzatur Riqaa’. Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita musyrikin. Setelah Rasullullah berangkat pulang, suami wanita itu yang sebelumnya tidak ada di rumah baru saja dating. Kemudian lelaki itu bersumpah tidak akan berhenti mencari sebelum dapat mengalirkan darah para sahabat Muhammad SAW. Lalu lelaki itu keluar mengikuti jejak perjalanan Rasullullah SAW. Pada sebuah lorong di suatu lembah Rasullullah SAW. Pada sebuah lorong di suatu lembah Rasullulah SAW bersama para sahabat berhenti. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah diantara kalaian yang bersedia menjaga kita mala mini ?” Jabir berkata, “Maka majulah seorang dari muhajirin dan seorang lagi dari Anshar lalu keduanya menjawab. ‘Kami siap untuk berjaga ya Rasullullah’. Nabi Muhammad SAW berpesan ‘Jagalah kami di mulut lorong ini’” Jabir menceritakan waktu itu, Rasullullah SAW bersama para sahabat berhenti di lorong suatu lembah.

“Ketika kedua orang sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata pada sahabat Muhajirin. ‘Pukul berapa engkau inginkan aku berjaga apakah permulaan malam ataukah akhir malam ?’ Sahabat Muhajirin menjawab ‘Jagalah kami di awal malam’ Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur. Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat, Jabir berkata, datanglah lelaki musyrikin itu dan ketika mengenali sahabat Anshar dia paham bahwa sahabat itu sedang bertugas jaga. Kemudian orang itu memanahnya tepat mengenai dirinya. Lalu sahabat Anshar mencabutnya kemudiah berdiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian orang musyrikin itu memanahnya lagi dan tepat mengenainya lagi, lalu sahabat itu mencabut kembali anak panah itu kemudian berdiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian untuk ketiga kalinya orang itu memanah kembali sahabat Anshar tersebut dan tepat mengenai dirinya. Lalu dicabut pula anak panah itu kemudian dia rukuk dan sujud. Setelah itu ia membangunkan sahabat Muhajirin seraya berkata, ‘Duduklah karena aku telah dilukai.’ Jabir berkata,”Kemudian sahabat Muhajirin itu melompat mencari orang yang melukai sahabat Anshar itu. Ketika orang musyrikin itu melihat keduanya ia sadar bahwa dirinya telah diketahui maka ia pun melarikan diri. Ketika sahabat Muhajirin mengetahui darah yang melumuri sahabat Anshar, ia berkata.’Subhanallah kenapa engkau tidak membangunkan aku dari tadi ?’ Sahabat Anshar menjawab,’Aku sedang membaca surat dan aku tidak ingin memutusnya, namun setelah orang itu berkali-kali memanahku barulah aku rukuk dan memberitahukan dirimu. Demi Allah SWT kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasullullah SAW kepadaku niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalat.”

Kesetiaan Memenuhi Seruan Dakwah. Indikasi Sikap Militan Kader.

Perjalanan dakwah bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi oleh kegemerlapan dan kesenangan melainkan ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat. Telah banyak kita dapati sejarah orang-orang terdahulu yang merasakan perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus meninggalkan kaum kerabatnya ada pula yang diusir dari kampong halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang banyak tersebut bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan mereka terhadap dakwah.

Abu Musa Al Asya arid an para sahabat lainnya-Semoga Allah SWT meridhlai mereka- telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kukunya copot. Namun mereka arungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikit pun bahkan mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan mereka dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanannya dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini.

Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi generasi sesudahnya. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan maka dakwah ini tumbuh bersemi dan generasi berikutnya memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu merupakan karunia yang diberikan Allah SWT melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhlai mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.

Mereka telah mengalami langsung apa yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quran surat At taubah ayat 42, berikut :

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.”

Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat tabah meniti perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotic untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.

Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu persatu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan. Penyakit wahn telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai resiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.

Sabtu, 09 April 2011

Berjama'ah Didalam Dakwah



Kesadaraan berjamaah adalah masalah yang sangat penting bagi umat Islam. Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia cintai dirinya sendiri. Pada peristiwa hijrah ke Madinah, salah satu hal yang pertama sekali dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah menghubungkan kaum Anshar dan Muhajirin dalam ikatan tali persaudaraan. Si fulan bersaudara dengan si fulan, keduanya bertanggung jawab untuk memastikan kebutuhan hidup saudaranya terpenuhi. Aktifis dakwah pun dibiasakan untuk saling menyapa dengan sebutan “akhi” dan “ukhti” untuk mengingatkan bahwa mereka semua bersaudara.

Uzlah (menyendiri) tidak pernah jadi opsi utama bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Rasulullah saw. hanya sering menyendiri ke Gua Hira menjelang turunnya wahyu pertama. Justru wahyu-wahyu awal itulah yang kemudian memberi instruksi tegas kepada beliau untuk menyingsingkan lengan baju dan terjun ke masyarakat untuk berdakwah.

Seketika mengucap syahadatain, ketika itulah kita lepas dari kesendirian. Kita tidak lagi sendiri-sendiri. Urusan kita adalah urusan seluruh umat Muslim di dunia, dan urusan mereka adalah urusan kita. Tidak ada individualisme dalam Islam. Kalau kaya, harus ingat pada yang miskin. Kalau kenyang, harus diingatkan pada yang lapar. Kalau membuat makanan, bagikanlah juga kepada tetangga. Kalau ada yang sakit, jenguklah. Kalau ada yang wafat, shalatkanlah. Kalau tidak ada yang mau menshalatkannya, maka berdosalah seluruh umat.

Itulah sebabnya ketika ada seorang sahabat mangkir dari panggilan jihad, kemudian ia mengakui bahwa sikapnya itu bukan didasari oleh alasan-alasan yang syar’i, maka Rasulullah saw. menetapkan hukuman boikot, yang terbukti sangat ampuh. Orang yang tadinya hidup dalam kehangatan ukhuwwah bersama Rasulullah saw. tiba-tiba saja dilemparkan kembali pada kehidupan jahiliyyah yang mengabaikan urusan orang lain. Orang-orang tidak lagi menyapanya, tidak lagi menjabat erat tangannya, tidak lagi bertanya kabarnya, tidak lagi bertamu ke rumahnya. Tapi hukuman ini lebih berat lagi baginya, karena ia tidak disuruh pergi mengasingkan diri. Ia dibiarkan tinggal di rumahnya dan ‘menonton’ bagaimana para sahabat berinteraksi setiap harinya. Kehangatan ukhuwwah itu hanya untuk dilihat olehnya, namun tidak untuk dirasakannya sendiri. Ia benar-benar dibuat sendiri.

Hukuman itu sangat efektif bagi orang yang sudah mengecap lezatnya ukhuwwah. Bagi yang sudah tahu nikmatnya berjamaah, tentu tak mau hidup sendiri lagi. Betapa ganjilnya orang yang memiliki kesempatan untuk membina ukhuwwah, namun ia memutuskan untuk mencabik-cabiknya dan hidup sendiri selamanya.

Yang seperti ini bukannya tidak ada, bahkan ia ada di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sementara dakwah Rasulullah saw. mengeluarkan orang dari kesendiriannya menuju amal jama’i, sebagian pengikutnya justru percaya sebaliknya.

Kesendirian (atau lebih tepatnya penyendirian) adalah salah satu ciri khas dakwahnya aliran-aliran sesat. Untuk ‘mengaji’ harus sembunyi-sembunyi, meskipun keadaan memungkinkannya untuk berdakwah secara terbuka. Orang lain tak boleh tahu, bahkan orang tua sendiri. Kalau orang tua tidak mendukung, maka kafirlah mereka. Harta orang tua adalah hartanya sendiri, dan kita tak ada kepentingan atasnya. Karena itu, boleh diambil saja demi kepentingan dakwah. Dunia mau hancur, moralitas umat rusak berantakan, terserah. Itu urusan masing-masing!

Lain lagi kesendiriannya orang-orang nyeleneh. Mereka senantiasa merasa dirinya single fighter; tidak punya ikatan dengan para pendahulunya. Sejarah bagi mereka hanyalah arkeologi, bukan hikmah; kerjanya mencari makam raja-raja dan peninggalan peradaban yang sudah punah. Mereka tidak tertarik pada pengalaman orang-orang di masa lampau dan peninggalan pemikirannya. Ramai orang berdebat tentang hal-hal yang sudah dibicarakan sejak dahulu, seolah-olah bangunan pemikiran umat harus dileburkan hingga ke pokok pondasinya. Belum lama ini, mahasiswa sosiologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, mengadakan sebuah seminar sebagai tugas kuliahnya. Seminar itu pada intinya mendukung homoseksualitas, lengkap dengan pendapat para pelakunya dengan sharing pengalamannya yang cukup vulgar. Hebohlah dosen-dosen mereka menyatakan dukungannya; hadits ini dhaif, penafsiran ayat Al-Qur’an yang ini belum jelas, kaidah yang itu masih diperdebatkan dan seterusnya. Ulamakah yang lalai mewariskan ilmu, ataukah anak-anak muda ini yang tidak merasa diwarisi?

Di kalangan aktifis dakwah sendiri pun ternyata ada fenomena kesendirian ini. Merekalah orang-orang yang menutup mata terhadap adanya perbedaan pendapat diantara ulama dan kemungkinan terjadinya perbedaan tersebut. Al-Ghazali mengutip hadits dhaif, tiba-tiba saja semua pemikirannya nampak seolah tak berharga. Istri dan anak seorang ulama tak berjilbab, seolah-olah terlupakanlah semua jasanya. Ulama yang berjuang melalui demokrasi sekonyong-konyong dituduh sebagai penyembah thaghut dan sistem kufur. Semua dosa bagaikan syirik yang bisa menghapus seluruh amal baik, sedangkan perdebatan dalam masalah-masalah tertentu malah diabaikan sama sekali.

Merekalah yang berjalan sendiri-sendiri. Saudaranya ada dimana-mana, tapi ia tak merasa bersaudara dengan mereka. Mau saling menjenguk rasanya berat, karena beda harakah. Mau bertanya kabar tapi enggan, karena ia adalah anggota partai politik. Mau bicara baik tentang si fulan tapi ragu-ragu, karena walaupun si fulan orang baik, tapi istrinya tak berjilbab.

Sudah di surga, tapi minta ke neraka. Ditawari ukhuwwah, tapi rindu kehidupan jahiliyyah.

Teladan : Rasulullah Mencintai Umat Hingga Detik Terakhir


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,"Maaf, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani Ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
"Siapakah itu, wahai anakku?"
"Tak tahulah Ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega. Matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini."
Perlahan Rasululah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu, wahai Jibril?" tanya Rasulullah kepada malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin,kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushhiikum bis shalati, wa maa malakat aimanakum -- peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatti, ummatti..." -- "Umatku, umatku, umatku..."
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai beliau sebagaimana beliau mencintai kita? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaihi wa sallim 'alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita...

Cukupkah hanya dengan shalawat kepada beliau, kita sudah dipastikan mencintai beliau? Cukupkah dengan bershalawat saja, lalu kita tidak perlu lagi memperhatikan dan mengamalkan sunnah-sunnah beliau?
Cukupkah dengan shalawat saja, lalu kita tak perlu lagi mengikuti jejak panjang perjalanan dakwah beliau? Bahkan ketika hidayah yang diperjuangkannya sudah sampai kepada kita?
Cukupkah dengan bershalawat saja, lalu kita tidak perlu lagi untuk tekun mendalami ajaran-ajaran beliau? Bahkan taklim-taklim gratis di masjid-masjid cukup diwakili oleh beberapa orang saja? Dan kita mengaku sangat mencintai beliau? Pantaskah?
Benar, bershalawat adalah salah satu cara mencintai Rasulullah tapi itu bukan segala-galanya. Shalawat hanyalah bagian dari sekian bukti cinta kita kepada beliau.
Kenapa demikian? Pantaskah Rasulullah SAW yang begitu agung dan menjelang detik-detik ajalnya sempat menyebut umatnya, hanya diberi hadiah shalawat? Tentu tidak...
Keagungan beliau tidak cukup dicintai hanya dengan shalawat, tapi bagaimana kita mengaplikasikan 'jiwa Rasulullah' dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena Rasulullah adalah suri teladan bagi kita semua khususnya umat Muslim.
Semoga kita bisa bersama beliau di surga kelak karena beliau sendiri yang menjamin bahwa "seseorang (di akhirat) akan bersama orang yang dicintainya". Amin

Jumat, 08 April 2011

Kemaksiatan Adalah Awal Dari Bencana


Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata,
"Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.'' Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, "Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!"
Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah,
"Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!"
Seorang dengan ketajaman mata bashirah seperti Umar bin Khattab bisa, merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.
Umar pun mengingatkan kaum Muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah. Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.
Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, "Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, 'Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'.''
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri,
" Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya."
"Allah berfirman,
'Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan tobat ataupun zakat). Lalu, dia mengingat nama Tuhannya, lalu ia sembahyang." (QS Al-A'laa [87]:14-15). Lalu katakanlah apa yang diucapkan Adam AS (saat terusir dari surga), 'Ya Rabb kami, sesungguhnya kami menzalimi diri kami dan jika Engkau tak jua ampuni dan menyayangi kami, niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi."
"Dan katakan (pula) apa yang dikatakan Nuh AS, 'Jika Engkau tak mengampuniku dan merahmatiku, aku sungguh orang yang merugi'. Dan katakanlah doa Yunus AS, 'La ilaha illa anta, Subhanaka, Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim'."
Jika saja kedua Umar ada bersama kita, mereka tentu akan marah dan menegur dengan keras, karena rentetan "teguran" Allah itu tidak kita hiraukan bahkan cenderung diabaikan. Maka, sebelum Allah menegur kita lebih keras, inilah saatnya kita menjawab teguran-Nya.
Labbaika Ya Allah, kami harus kembali kepada-Mu.

Wallahu a'lam.

Jumat, 01 April 2011

NASIONALISME ADALAH IIOLOGI KELIRU BAGI UMAT ISLAM


Bagi kaum Muslim, nasionalisme menjadi racun yang sangat menyakitkan. Persatuan Dunia Islam yang tadinya merupakan kekuatan tangguh yang menyatukan negeri-negeri Islam, kemudian tercabik-cabik hanya karena penyebaran ide nasionalisme ini. Barat kemudian melakukan pembagian negeri-negeri Islam dengan hanya menggunakan penggaris dan pensil.
Dalam bidang politik dan ideologi kaum muslimin tertipu oleh faham nasionalisme yang dianggap sebagai ideologi. Lewat faham nasionalisme yang diinduksikan oleh negara kafir imperialis ke seluruh dunia Islam menjelang perang dunia pertama itu, kaum muslimin terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara dengan kebangsaannya masing-masing.
Dengan nasionalisme berarti kepentingan nasional di atas segala-galanya termasuk diatas akidah Islam. Tersebarnya paham nasionalisme ini menjadikan kaum Muslim sedunia yang tadinya bersatu menjadi hendak berdiri sendiri-sendiri. Muncullah PanArabisme, lalu diikuti dengan munculnya tuntutan untuk mendirikan negara-negara nasional lepas dari kekuasaan Khalifah Utsmaniyah saat itu. Akhirnya, melalui Musthafa Kemal yang didukung oleh Inggris dan negara-negara besar saat itu, pada tanggal 24 Maret 1924, Khilafah diruntuhkan. Kaum Muslim tidak lagi memiliki benteng yang senantiasa menjaga dan memeliharanya.
Setelah keruntuhan Khilafah, negeri-negeri Muslim dipecah-belah menjadi banyak negara. Terbentuklah negara-negara ‘merdeka’ atas dasar nasionalisme. Iran (1921), Saudi Arabia (1921), Mesir (1922), Irak (1932), Jordan (1945), Lebanon (1945), Syria (1945), Indonesia (1945), Pakistan (1947), Maroko (1956), Nigeria (1960), Somalia (1960), Kuwait (1961), Algeria (1962) dan banyak lagi.
Akibat nasionalisme itulah, kenapa, misalnya, krisis ekonomi yang menimpa Indonesia selama ini dibiarkan begitu saja oleh para penguasa kaum muslimin lain yang kaya, karena meskipun sama-sama beragama islam tetapi bangsa indonesia dianggap bukan bangsanya karena diluar wilayah teritorial negaranya. Akhirnya, sabda Nabi SAW bahwa umat Islam sebagai satu tubuh itu tidak menjelma dalam realitas.
Islam tidak mengenal ikatan apapun yang lebih tinggi, selain ikatan iman dan ukhuwah Islamiyah, untuk seluruh kaum Muslimin. Ikatan ini berarti hanya menjadikan akidah Islam, mabda (ideologi) Islam, sebagai satu-satunya pengikat antar kaum Muslimin. Ikatan-ikatan lainnya seperti ikatan kelompok, golongan, suku, keluarga, bangsa/nasionalisme, dan sejenisnya masuk dalam kategori ikatan-ikatan yang mempropagandakan syi’ar-syi’ar Jahiliyah. Seruan terhadap ikatan-ikatan tersebut sama artinya kita kembali ke jaman Jahiliyah, jaman paganisme, jaman penyembahan terhadap berhala. Ikatan keluarga tidak ada artinya apabila di antara anggota keluarga terdapat orang-orang yang bersebarangan akidahnya dengan kaum Muslimin. Bapak dan anak, suami dan isteri, begitu pula kakak dan adik kandung tidak ada artinya di sisi Allah jika salah satu di antara mereka kafir. Firman Allah SWT :
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya; sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadalah [58]: 22)
Dengan demikian, ikatan yang mampu menjalin keberagaman masyarakat, yang di dalam sejarah umat manusia mampu menyatukan suku-suku, ras, kelompok, bangsa-bangsa, dari semenanjung Andalus di daratan Eropa hingga Kepulauan Nusantara, dari pegunungan Kaukasus hingga pedalaman hutan Afrika, hanyalah ikatan akidah dan ukhuwah Islam, menjadikan Islam sebagai mabda (ideologi). Selain ikatan Islam, tidak akan behasil menjalin heterogenitas masyarakat, betapapun keras upaya untuk menyatukannya. Ikatan ini terbukti mampu bertahan selama lebih dari 13 abad sampai institusi yang menyatukan masyarakat Islam runtuh, yaitu hancurnya negara Khilafah Islamiyah di Istambul Turki.
Sejak saat itu umat terpecah belah, terkerat-kerat oleh sistem hukum yang dibuatnya sendiri, terkotak-kotak oleh kepentingan politik, dan diperdaya oleh negara-negara Barat yang kafir
Oleh karena itu, setiap pemikiran kufur/sesat seperti demokrasi, HAM, sekularisme, nasionalisme, dan lain-lain harus kita bantah dan kita serang balik serta kita tunjukkan kepada umat dimana letak kepalsuan dan kebatilannya. Dengan demikian, umat akan terbebaskan dari pengaruh dan belenggu dominasi pemikiran dan kebudayaan kufur serta kembali kepada kesucian Islam. Kenapa umat Islam kini sedang didominir dan dikuasai oleh negara-negara Barat seperti AS, Inggris, Perancis, dll. Baik secara ekonomi maupun politik? Jawabnya adalah dikarena kan umat ini telah dicekoki dengan racun pemikiran barat (westoxication).
Kaum muslimin adalah ummat yang satu, yang berbeda dengan ummat-ummat lainnya. Allah SWT telah menyatukan kaum muslimin karena kesamaan aqidahnya (keimanannya kepada Allah dan RasulNya). Rasulullah saw telah berhasil menerapkan sistem dan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan sejak berdirinya Negara Islam yang pertama kalinya di kota Madinah, kemudian penerapan sistem dan hukum Islam di bawah kekuasan Islam itu berlanjut di masa Khulafa Rasyidin, lalu Kekhilafahan di masa Umayyah, Abasiyah, hingga akhirnya masa Khilafah Islamiyah Utsmaniyah.
Kaum muslimin saat itu memiliki hanya satu pemimpin (Khalifah), memiliki satu sistem dan hukum, yaitu sistem dan hukum Islam, mempunyai satu wilayah yang amat luas yaitu Daulah Khilafah Islamiyah, memiliki kekuasaan politik dan militer yang siap menjaga penerapan sistem dan hukum Islam, yang siaga memelihara kesatuan wilayah Islam, melindungi jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin dimana saja mereka berada, menghancurkan kebathilan dan kekufuran yang diemban oleh musuh-musuh Islam, merendahkan kemusyrikan dan kekafiran, meninggikan Islam dan memuliakan kaum muslimin.
Carleton S, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim Utara hingga tropis dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku.”
L. Brown mengatakan, “Seandainya orang muslim bersatu padu dalam satu pemerintahan niscaya hal ini sangat berbahaya bagi seluruh dunia. Sebaliknya hal itu akan mendatangkan kenikmatan tak terhingga bagi kaum muslimin. Tapi selagi mereka terus sikut-sikutan, maka mereka juga tetap terombang-ambing tidak mempunyai pedoman yang jelas dan tidak mempunyai pengaruh yang jelas dan tidak pengaruh yang berarti bagi dunia luar”.
Mengapa kita masih mau dipisahkan oleh faktor nasionalisme dan batas negara, yang notabene buatan manusia, ketimbang dipersatukan dalam satu akidah dan satu wadah negara, sebagaimana selama berabad-abad kaum Muslim pendahulu kita berada dalam satu naungan Kekhilafahan Islam?