Senin, 20 Februari 2012

Kecenderungan Manusia : Keluh kesah & Kikir


"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir". (QS. Al- Ma'arij: 19-21)

Al-Qur'an selalu menggambarkan setiap realitas kehidupan, kematian, alam semesta, bahkan kiamat dengan gambaran yang mengagumkan, bahkan juga sangat tepat dan menyentuh.

Ungkapan Al-Qur'an pun sangat sempurna ketika mengungkap watak asli manusia dalam ayat di atas, yaitu manusia yang hatinya kosong dari iman. Tidak ada yang melindungi manusia dari sifat-sifat buruk ini dan membersihkannya kecuali iman.

Iman yang mampu menghubungkannya dengan Sumber yang hanya di sisi-Nya ia dapat memperoleh ketenangan. Sumber yang menjadi tempatnya berpegang dengan kuat saat kesedihan datang mengelayutinya, bahkan membuatnya jatuh tersungkur karena tak kuat menghadapi kesulitan. Sumber yang dapat melindunginya dari sifat kikir ketika ia memperoleh kebaikan dan kelapangan hidup.

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al Ma'arij: 19-21)

Dalam tiga ayat pendek di atas, sungguh seakan-akan setiap kalimatnya merupakan sebuah sentuhan dari goresan indah yang dibuat untuk melukiskan sifat-sifat manusia, dengan kalimat-kalimat singkat membicarakan gambaran kehidupan. Dari celah-celahnya digambarkanlah manusia dengan sifat-sifat aslinya, yaitu "keluh kesah" ketika ditimpa kesusahan dan "kikir" ketika mendapat kesenangan.

Hampir tiap hari, bahkan tiap saat kita selalu mendengar keluh kesah di tengah aktifitas kehidupan kita, keluh kesah yang kadang sangat erat hubungannya dengan kondisi jiwa dan iman yang sedang melemah.

Orang yang hatinya sepi dari iman itu mengira bahwa kesedihan itu bersifat abadi, kekal dan tiada yang dapat menghilangkannya. Ia pun mengira bahwa masa yang akan datang adalah akan menjadi petaka baginya. Maka dipenuhilah hatinya dengan bermacam kesedihan, sehingga ia mengira bahwa ia tidak akan terlepas dari kesedihan ini. Ia telah dimakan oleh kesedihan dan dirobek-robek oleh keluh kesah. Hal ini terjadi karena ia tidak berlindung kepada pilar penyangga yang kokoh bagi azamnya, dan tidak menggantungkan cita-cita dan harapannya kepada Allah.

Selain itu sifat aslinya yang lain adalah "sangat kikir" terhadap kelapangan saat ia mendapatkannya. Ia mengira bahwa keberhasilan itu karena upaya dan jerih payahnya sendiri. Karena itu ia lantas bersikap kikir kepada orang lain, dan memonopoli kekayaan untuk pribadinya sendiri. Sehingga, jadilah ia sebagai tawanan bagi kekayaannya, dan menjadi budak bagi kerakusannya.

Hal ini disebabkan karena ia tidak mengetahui hakikat rezeki dan peranannya. Ia tidak melihat kebaikan Tuhannya kepadanya karena sudah terputus hubungannya, dan hatinya sudah kosong dari merasakan keberadaan dan campur tangan-Nya.

Karena itu, ia selalu berkeluh kesah dalam kedua kondisinya. Yaitu, berkeluh kesah di saat susah dan berkeluh kesah ketika mendapat kesenangan, inilah gambaran buruk manusia ketika hatinya kosong dari iman.

Dengan demikian, tampaklah bahwa iman kepada Allah merupakan suatu yang sangat besar bagi kehidupan manusia."Iman bukan sekedar kata yang diucapkan dengan lisan, dan bukan pula sekedar simbol ubudiyah (pengabdian) yang diperagakan. Tetapi iman adalah kondisi jiwa dan manhaj (acuan) kehidupan, serta pandangan kehidupan yang sempurna terhadap norma dan nilai, peristiwa-peristiwa dan semua keadaan". Begitulah ungkapan Ustadz Sayyid Qutb ketika menguraikan penjelasan ayat ini.

Ketika hati kosong dari iman yang menegakkan dan meluruskannya ini, maka ia akan goyah, senantiasa terombang-ambing bagaikan bulu yang terbangkan angin, ia akan terus goncang dan takut. Ketika ditimpa kesusahan ia mengeluh, ketika dikaruniai kesenangan iapun kikir.

Adapun jika hati disemarakkan dengan iman, maka ia senantiasa tenang dan pemurah, karena selalu berhubungan dengan sumber segala peristiwa dan pengatur segala keadaan. Ia akan selalu merasa tentram dengan kekuasaan-Nya, mampu menerima ujian-Nya, selalu melihat solusi dari-Nya atas kesempitan, dan menemukan kemudahan dari-Nya atas kesulitan. Ia akan selalu menghadap kepada-Nya dengan kebaikan, karena ia tahu bahwa apa yang ia infakkan adalah rezeki dari-Nya dan kelak ia akan mendapatkan balasan dari apa yang ia infakkan itu, di dunia dan di akhirat.

Maka, iman adalah suatu usaha di dunia yang terwujud hasilnya sebelum mendapatkan balasan di akhirat, yang menimbulkan kegembiraan, ketenangan, kemantapan dan kestabilan selama perjalanan hidupnya di dunia.

Sifat-sifat orang mukmin yang dikecualikan dari sifat-sifat umum manusia itu dijelaskan batasan-batasannya dalam rangkaian ayat berikutnya, bahkan ayat-ayat ini merupakan sarana penting dalam mengikis dua sifat dia atas.

Sifat pertama yaitu "keluh kesah" dapat dikikis dengan sholat, karena sholat merupakan sarana berkeluh kesah yang sesungguhnya, yaitu berkeluh kesah kepada Allah yang dapat menghilangkan kesedihan dan kedukaan sehingga berubah menjadi kebahagiaan dan ketenangan.

Shalat lebih dari sekedar rukun Islam dan simbol iman. Ia adalah saran berhubungan dengan Allah dan tindak lanjut dari kesadaran batinnya. Maka sholatnya ini adalah sholat yang tidak pernah ia tinggalkan lantaran lalai ataupun malas. Kata "daaimuun" dalam ayat ini mengisyaratkan perhatian terhadap sifat keseriusan dan kesungguhan dalam hubungannya dengan Allah, sebagaimana hubungan inipun harus dihormati, karena hubungan ini bukanlah permainan yang begitu saja dapat disambung dan diputuskan sesuai selera.

"Allah berfirman: kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu senantiasa mengerjakannya". (Al Ma'arij: 22-23)

Sifat kedua yaitu "sangat kikir" dapat dikikis dengan cara melatih diri untuk biasa berbagi dengan kelebihan yang Allah titipkan kepadanya.

"dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (QS. Al Maarij: 24-25)

Perasaan dan kesadaran tentang adanya hak di dalam hartanya untuk orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta adalah kesadaran tentang adanya karunia Allah pada satu sisi lain, yang melebihi keterbatasan perasaannya dari belenggu kekikiran dan kerakusan. Pada waktu yang sama hal ini menunjukkan adanya rasa kesetiakawanan sosial, rasa senasib dan seperjuangan dengan sesama masyarakatnya.

Al-Qur'an menyebutkan di sini, lebih dari sekedar melukiskan sifat-sifat dan ciri-ciri jiwa yang beriman. Akan tetapi, ia adalah salah satu mata rantai pengobatan penyakit kikir dan tamak dalam ayat di atas.

Wallahu a'lam bishowab.

Tidak ada komentar: