Rekam jejak kehidupan mengisyaratkan kepada kita bahwa banyak
kegelisahan bergumul di sekitar benak. Kegelisahan hari ini sangat
dimungkinkan oleh dampak aksi kita di masa lampau. Terkadang juga itu
merupakan tumpukan cemas, asa, harap, cita. Kemudian meledak ia menjadi
sebuah kegelisahan. Terkadang ada yang
membahasakan, antitesanya kegelisahan adalah ketenangan. Namun kalau
mau ditelisik lebih jauh, ternyata ketenangan sendiri merupakan wujud
kegelisahan. Adalagi tenang bagi sebagian, merupakan gelisah bagi yang lain. Bagi mereka yang abstrak, gelisah dan tenang merupakan sesuatu yang
tak berwujud dan tak berbeda. Tenang merupakan bagian dari gelisah,
namun demikian gelisah bukan bagian dari tenang.
Mari kita berandai -
andai. Seandainya sudah tidak ada lagi gelisah di benak kita, dapatkah
kita menjustifikasi bahwa nuansa hati sudah tenang ketika itu? Atau
ketika kita merasa gelisah, adakah ketenangan sudah bepergian jauh
meninggalkan kita? Bisa jadi jawabnya ia, namun bisa juga tidak.Tafsiran
sebenarnya ternyata
ada jauh di lubuk hati. Nurani namanya. Ia kemudian berwujud menjadi
persepsi. Lebih jelas ia akan bekerja di sekitar kondisi yang terjadi. Nurani inilah yang akan menilai apakah penting saat ini untuk gelisah, atau lebih baik tenang. Ia akan memilah berbagai tampilan problematika yang
menghampirinya untuk kemudian diklasifikasikan menjadi tumpukan gelisah
atau ketenangan.Gizinya nurani adalah pemahaman. Sumber pemahaman
adalah pembelajaran dan ketekunan. Akar dari semua itu adalah ilham akan
kecendrungan kepada kebenaran. Inilah yang
kemudian menjadi fondasi nurani untuk menentukan sebuah jasad menjadi
gelisah atau tenang.
Akan tetapi, tetap masih ada sebuah kekuatan yang bersekongkol dan atau malah memonopoli proses pengklasifikasian itu. Kekuatan itulah yang sering disebut - sebut sebagai hidayah. Sesuatu yang tak bisa direalitakan secara verbal, hanya hati yang
bisa merasakan kedatangannya. Ketika ia datang, ketenangan dapat jelas
terasa mejadi sebuah anugerah, dan kegelisahan menjadi sebuah spirit.
Dengan kedatangannya jua, tenang melegitimasi wujudnya menjadi
kesyukuran, gelisah bermetamorfosa menjadi kesabaran.Lantas, sebuah
pertanyaan tersirat. Darimanakah datangnya hidayah itu? Tak ada jawaban yang
pasti.
Namun sebuah sketsa mengisyaratkan bahwa seberapa dekat kita
dengan spiritualitas, sangat memungkinkan ia menghampiri. Memang erat
hubungannya antara spiritualitas dan hidayah. Namun ada sebuah hal
mutlak yang mesti kita yakini. Ia bernama takdir. Bisa jadi takdir yang
membisikkan hidayah untuk menghampiri.Manusia tidak bisa lari dari
gelisah. Ia juga tak bisa dengan mudah meraih tenang. Demikian
sebaliknya. Bukan materi, apalagi imajinasi duniawi tabib dari dua
tabiat ini, melainkan seberapa kuat spiritualitas itu menjadi karakter
diri. Sampai disini, aku sadar. Tak ada hal yang
membenarkanku untuk lari dari masalah. Pun tak ada alasan bagiku untuk
mencari ketenangan. Aku cukup bertanya pada nurani, dan ia akan
menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar