Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila
suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang
perjalanannya.
Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu
perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan
keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.
Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup dengan orang
lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga. Bisa
jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok
wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya.
Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya
memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan
tetapi, memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang
jauh, yang dalam anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang
tidak ada pada apa yang telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih
hijau daripada rumput sendiri. Kenyataannya, tidak lain hanya
fatamorgana.
Sikap membandingkan bisa pula datang dari pihak istri, di mana ia
membandingkan hidupnya dengan kehidupan wanita lain. Membandingkan
suaminya dengan suami orang lain.
“Fulanah bisa begini, bisa begitu…. Diberi ini dan itu oleh suaminya…. Sementara aku…?”
Terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di depan suaminya hingga suaminya jengkel.
Orang Arab mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe wanita; annanah, hannanah, dan mannanah.”
Annanah adalah wanita yang banyak menggerutu dan berkeluh kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa sebab.
Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut kepada
suaminya, ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan
suaminya dengan lelaki lain.
Mannanah adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit
apa yang dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan mengatakan, “Aku
telah lakukan ini dan itu karena kamu….”
Betapa banyak perbuatan membanding-bandingkan tersebut merobohkan
bangunan rumah tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa yang
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuknya. Hendaklah
ia percaya bahwa siapa yang membanding-bandingkan keadaannya dengan
orang lain, niscaya ia akan menganggap kurang apa yang ada padanya.
Karena, kesempurnaan itu sesuatu yang sulit diperoleh. Orang yang suka
membanding-bandingkan keadaannya dengan orang yang di atasnya, ia tidak
bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak orang yang keadaannya
berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji Allah Subhanahu wa ta’alaatas karunia-Nya.
Pokok masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, bisa
melancong dari satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang indah,
perabot-perabot yang mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya
adalah kelapangan jiwa menerima pembagian Allah Subhanahu wa ta’ala serta
sebuah rumah yang tegak di atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua
itu sudah terkumpul, apa lagi yang diinginkan? Mengapa harus menyibukkan
diri mengamati keadaan orang lain hingga mengundang kesedihan dan
kegundahgulanaan jiwa?
Maka yang harus diperhatikan adalah:
Muamalah di Antara Keduanya
Suami istri janganlah jual mahal untuk memaafkan pasangannya ketika
salah satunya meminta maaf dan
meminta keridhaan. Seorang istri tidak
boleh bersikap angkuh dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya di
depan suaminya. Seorang suami pun tidak boleh kaku dan keras hati.
Apabila istri sudah mengakui kesalahannya, hendaklah berlapang dada,
selama masalahnya tidak mencacati agama dan akhlak. Demikian pula ketika
suami bersalah, dia tidak boleh merasa gengsi untuk meminta maaf.
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada suami
adalah sesuatu yang tidak boleh dilalaikannya.
Penting untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak bisa
berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras.
Salah satunya harus ada yang lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa
itu adalah istri! Kehidupan suami istri tidak bisa berjalan baik
melainkan dengan seorang suami yang kuat dan seorang istri yang tahu
bahwa ia wanita yang lemah. Itulah sebabnya lelaki dijadikan sebagai
qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan wanita lemah. Pihak yang
lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung dan bertumpu di
kala sulit. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah
telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah adalah wanita yang
taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada,
karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian
khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)
Jangan sampai seorang istri senang apabila suaminya lemah, tidak bisa
menegakkan urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi istrinya. Inilah
fitrah. Lantas, mengapa ada saja orang yang lari dan merasa sombong
untuk mengakuinya? Padahal keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat
tidak berarti ia bersifat zalim. Kuatnya kepribadian tidaklah sama
dengan kezaliman dan kekakuan.
Istri salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya
hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya
mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi
suaminya.
Renungkanlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud
kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad 4/381, dinyatakan sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)
Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ
أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ
عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ
قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ
وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain.
Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku
perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya
haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada
luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri
menghadapi luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna
menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan
sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam
ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki Musnad al-Imam Ahmad 10/513, cet.
Darul Hadits, Kairo)
Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak
suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang
melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan
merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!
Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya. Ia menjaga
rahasianya. Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya.
Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki
selain suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah
mereka. Janganlah ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam
pekerjaannya atau memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri
apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan
jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek
apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan anak-anaknya. Selain itu,
wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang ridha suami, lalu ia
bersegera melakukannya.
Wallahu a'lam bisshowaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar