Sabtu, 25 April 2009


SUAP : ANTARA REALITA DAN FATWA AGAMA

Suap yang dalam bahasa arabnya riswah merupakan sebuah problema umat Islam saat ini. Hampir di seluruh instansi-instansi pemerintah dan pendidikan ditemukan pekerjaan suap. Bukan itu saja, suap juga telah merambah pada even pemilu (pemilihan umum) kali ini.

Suap dan Realita
Problema suap telah menjamur di pelbagai Negara, sehingga tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat dunia. Hal ini terjadi dikarenakan dengan pelbagai sebab, ada yang melakukannya karena malas berurusan dan menunggu terlalu lama, dan ada pula yang berkembang dimasyarakat ketika ada pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, masyarakat yang berfikiran pragmatis ”Siapa yang memberi saya uang banyak ia saya pilih”, tentu ini membuat sang calon pemimpin gencar melakukan suap agar mendapatkan dukungan yang signifikan. Jika realita ini terus berjalan maka hukum hanya tinggal sebagai 'pajangan' saja. Akankah budaya 'kotor' ini dibiarkan begitu saja? Bagaimana tanggapan para ulama terhadap budaya 'kotor' yang terus menggerogoti pikiran masyarakat, yang akhirnya diitakuti kini dianggap suatu hal yang sah-sah saja?


Suap dan Fatwa Agama
Islam sebagai agama yang selalu memperhatikan kesejahteraan umatnya tentu tidak akan tinggal diam dalam menanggapi budaya 'kotor' yang terus menjalar diberbagai bidang. Kalau diteliti suap yang dalam bahasa Arabnya riswah merupakan pebuatan yang zholim dengan memakan harta orang lain secara bathil yang jelas bukan miliknya. Sehingga para ulama sepakat bahwa suap merupakan pekerjaan yang diharamkan agama (syari'). Sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam surah al-Baqarah ayat 188: ”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetauhi”.
Dan sabda Rasulullah saw : ”pemberi suap dan penerima suap masuk dalam neraka”, Dalam hadits yang lain Rasulullah saw. bersabda: ”Allah swt. melaknat pemberi suap penerima suap dan perantara keduanya”.
Dalil ini jelas sekali menyatakan bahwa pemberi suap (râsyi), penerima uang suap (murtasyi) dan perantara keduanya (râisy) merupakan pekerjaan yang diharamkan oleh syari' (agama) dan Imam Mazhab yang empat sepakat akan pengharaman riswah (suap) tersebut. Adapun pemberian hadiah dari yang punya hak kepada petugas intansi dengan maksud tidak menyuap, tetapi untuk tercapainya hak yang diinginkannya dari sebuah intansi tersebut tergolong perbuatan yang diharamkan juga, karena ini tergolong suap (riswah) dalam bentuk majaz. Sebagiamana yang dijelaskan dalam kitab Tahqiq al-Qadiyah fi al-Fâriq baina al-Riswah wa al-Hadiyah karangan Allâmah Abd al-Ghani al-Nabilsi.
Dua masdar hukum Islam; al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan secara jelas dan tegas akan praktek riswah (suap) tanpa ada pengecualian. Maka dalil-dalil tersebut tidak dapat dikecualikan dengan perkataaan fuqoha' (ulama Fiqh), bagaimanapun situasi dan kondisinya.
Hadits Rasul tersebut menunjukkan bahwa yang pertama kali dilaknat Allah sebelum penerima suap (murtasyi) adalah pemberi suap (râsyi). Hal ini membuktikan bahwa pertanggungjawaban yang terbesar terletak pada pemberi suap (râsyi), sekalipun dari segi mendapat laknat Allah sama. Karena itu tidak dapat mengecualikan pemberi suap (râsyi) dalam hal dosa.
Kemudhratan yang dijadikan alasan pembolehan terjadinya praktek riswah (suap) belum mencukupi syarat. Karena, sebagaimana yang disepakati Ijma' ulama bahwa kemudhratan yang membolehkan penggunaan yang haram, jika tidak melakukan hal tersebut dirinya akan berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian atau hilang salah satu anggota tubuhnya, bukan dikarenakan kesempitan dan kesulitan waktu.
Kenapa dosa riswah (suap) tersebut hanya mengenai penerima suap (murtasyi) saja, kalau ditilik dari segi keuntungan lebih banyak didapat pembari suap (râsyi) dari penerima suap (Murtasyi). Maka akan timbul pertanyaan kenapa penerima suap (murtasyi) tidak mendapat hal yang sama?
Dr. abdul 'azim al-muth'ani; ustadz Dirosat al-'Ulya Jami'ah al-Azhar. Beliau berpendapat: "bahwa seorang yang terjepit untuk mendapatkan haknya dan dalam kondisi yang sangat mendesak sehingga mengharuskan melakukan riswah (suap), itu merupakan suatu rukhsoh (keringanan) baginya. Hal ini pun dapat dilakukan jika tidak ada cara lain dan penolong untuk mendapatkan haknya, sehingga pokok permasalahan tinggal pada murtasyi (penerima suap) saja, karena yang memiliki hak berada dalam dua kondisi; menyerahkan permasalahan ini kepada Allah (baca: tawakkal) dengan tidak melakukan riswah (suap)…dan ini lebih baik, atau melakukan riswah (suap) karena terpaksa dan pada hakekatnya sangat membenci pekerjaan riswah (suap) tersebut sehingga posisinya ketika itu sangat terjepit ('uzur) sekali, hal ini juga dibolehkan. Sebagaimana terjadi pada orang yang sangat kelaparan ditengah hutan sehingga mengharuskannya memakan daging babi untuk menolak yang hal yang membahayakan bagi dirinya, tetapi ketika lapar itu telah hilang maka tidak boleh baginya meneruskan makanan tersebut hingga kenyang".Sekarang tinggal kita memikirkan apakah riswah (suap) yang dilakukan ketika ditilang polisi ditengah jalan termasuk yang memudhratkan atau tidak? Atau ketika diantara kita banyak pilihan dalam pemilu (pemilihan legislatif, pemilihan presiden hingga pemilihan kepala desa) terus kita memilih calon yang memberi uang banyak padahal ahklaknya bejat bahkan kafir?. Mari…Tanya nurani kita masing-masing

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Itu foto waktu aksi, keren: pernah masuk koran sindo